SAYA sama istri, di rumah tangga kami itu, saling pengertian aja. Kayaknya bisa dibilang dalam banyak hal.
Misalnya aja, saat musti nongkrongin anak hafalan Quran. Biasanya habis Shubuh. Pulang dari masjid, habis saya tilawah pribadi, ya saya paham betul, saya musti beres-beres rumah: nyapu, ngepel, nyuci piring (kalau masih ada bekas semalam), atau ya jagain mesin cuci, kalau hari itu nyuci.
Saya sadar banget, sebagai bapak, saya ga bisa dampingin anak sebagus istri saya untuk menghafal. Jadi, supaya semua bisa dapetin pahala, ya semuanya bekerja. Sampai menjelang anak berangkat ke sekolah dan saya berangkat kerja, alhamdulillah, biasanya, rumah sudah beres pula.
BACA JUGA: Anakku dan Quran
Itu pagi hari. Siang dan malamnya, nyaris sama dengan kesibukan yang berbeda. Saya harus kerja pol-polan, istri saya juga biasa men-support dengan berbagai kalimat indah penuh semangat, dan kopi dan sedikit cemilan, dan saya tidak akan diganggu dengan kepentingan apapun saat itu.
Begitu juga soal anak-anak. Kalau saya keras, istri saya yang nenangin. Kalau istri saya julid, saya yang meluk anak-anak.
Ga pernah ada sih akad di antara kami berdua, kalau aku begini, kamu begitu.
BACA JUGA: Pep dan Zlatan Ibrahimovic
Buat kami, tujuan rumah tangga itu dilakukan berdua. Saling mengisi. Dua kaki melangkah ke arah yang sama.
Soal mengubah dunia dan dirimu sendiri, buat saya, mulai saja dari rumah tanggamu dulu (bagi yang udah nikah). Ingatlah, rumah tangga itu musti lebih banyak bahagianya. Jika sering-sering murung, itu mungkin rumah duka. []