Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
Penulis Buku “Menikah Rasa Jannah”
hauro.aljannah@gmail.com
PERNIKAHAN adalah lembaga menyatunya cinta dalam balutan visi masa depan. Pernikahan juga merupakan wadah bagi lahirnya generasi cemerlang yang akan membangun peradaban di masa depan. Maka, kebahagiaan menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya hal tersebut. Namun, apa jadinya jika pernikahan justru tak lagi bermekaran cinta di dalamnya sehingga krisis bahagia?
Seiring bertambahnya usia pernikahan, seringkali pasangan suami istri kehilangan romantisme. Hubungan yang terjalin di antara keduanya sebatas rutinitas, tanpa ada lagi kehangatan. Dalam hal ini, suami memegang peranan penting, sebab ia merupakan imam (pemimpin) dalam rumah tangga. Sikapnya di dalam rumah tangga akan menjadi penentu kebahagiaan di dalam rumahnya.
BACA JUGA: Suami Istri Makin Bahagia Makin Mirip, Benarkah?
Jika suami cuek, tidak pernah bersikap manis terhadap istri, tidak pernah menyentuh istri secara fisik kecuali saat ada hajat di ranjang, tidak pernah memberi pujian, dan bahkan tidak pernah lagi berkomunikasi dengan istri dari hati ke hati, maka hal itu akan memengaruhi psikologis istri.
Pernikahan tanpa Bahagia, Jika Istri …
Jika istri terganggu psikologisnya, maka ia rentan tersulut emosi. Dan anak-anaklah yang menjadi korbannya. Benarlah adanya bahwa kebahagiaan anak dipengaruhi oleh kebahagiaan seorang istri, ibu anak-anak. Sebab istri adalah pemegang amanah hadhanah (pengasuhan) terhadap anak-anaknya.
Jika istri saja tak pernah mendapatkan kasih sayang suami, bagaimana mungkin ia dapat menjalankan perannya dengan penuh kasih sayang?
Oleh karena itu, seorang lelaki yang telah menikah harus pandai merawat cinta dalam rumah tangga. Bukan sekadar sibuk menafkahi secara materi, namun lupa memberikan asupan cinta kepada istri. Cinta itu harus diperlihatkan secara verbal, bukan sekadar ditandai dengan kerja keras mencari nafkah.
Ingatlah, bahwa sesungguhnya kebahagiaan bagi seorang perempuan itu sangatlah sederhana. Ya, cukup melimpahinya dengan perhatian, senyum dan tatapan penuh cinta, didengarkan ceritanya, dikecup keningnya atau dipeluk tanpa tendensi seksual. Baginya itu sudah cukup membuatnya merasa dihargai keberadaannya dan merasa dicintai.
Pernikahan tanpa Bahagia, Anjuran Rasul
Bukankah Rasulullah ﷺ juga telah memerintahkan agar kita mengatakan rasa cinta kepada orang yang kita cintai? Lantas, mengapa berat mengucapkan itu kepada pasangan halal kita?
“Apabila salah seorang dari kalian mencintai saudaranya, hendaklah dia mengutarakan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Sungguh, pernikahan tanpa bahagia hanya akan melahirkan petaka, jauh dari ketentraman dan ketenangan sebagaimana yang menjadi tujuan pernikahan. Bukankah banyak pasangan suami istri yang tak lagi saling cinta namun terkurung dalam rumah tangga hanya demi anak-anak? Sungguh hal tersebut sangat tidak sehat.
Bukankah pernikahan adalah mahligai agung dalam menciptakan generasi emas pengisi masa depan?
Oleh karena itu, suami harus benar-benar menjalankan perannya sebagai qowwam (pemimpin) yang mampu menciptakan bahagia dalam rumah tangga. Bagimana pun suami adalah penentu.
Sikap istri ditentukan oleh sikap suaminya. Sebab perempuan memiliki dominasi dalam perasaan, maka cukuplah jaga perasaannya dengan asupan cinta, niscaya dia akan bahagia dan mampu menjalankan perannya sebagai ummu wa robbah al-bayt secara optimal.
BACA JUGA: Kepo terhadap Rumah Tangga Orang Lain, Bagaimana Hukumnya?
Pernikahan tanpa Bahagia, Jika Cinta karena Allah
Cukuplah cinta karena Allah yang menjadi pemersatu pasangan suami istri. Maka di sinilah pentingnya fondasi takwa dalam membangun rumah tangga. Karena dengan takwa, suami akan tahu bagaimana memperlakukan istrinya secara makruf dan tahu bagaimana membuat istrinya selalu jatuh cinta padanya berkali-kali.
Begitu pun istri, dengan takwa ia akan tahu bagaimana cara melayani suami dengan baik dan menjalankan kewajibannya sepenuh hati.
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis sahih dalam kitab sunnahnya: Muadz bin Jabal berkata, “Aku mendengar Rosulullah bersabda bahwa Alloh subhanahuwata’ala berfirman, ‘Orang-orang yang saling mencinta di bawah keagungan-Ku untuk mereka akan mendapatkan mimbar-mimbar (tempat yang tinggi) dari cahaya. Para Nabi dan syuhada pun tertarik oleh mereka.” (HR. Tirmidzi) []