ADA celetuk seseorang tentang rezeki yang mungkin menarik untuk dibahas. Katanya, “jika ada orang yang dari dulu hingga sekarang hidupnya stagnan, tidak kaya-kaya maka ada yang salah dengan hidupnya”.
Orang ini ingin menyampaikan bahwa orang yang tidak ada peningkatan dalam hidupnya (khususnya materi) menunjukkan dia telah mengabaikan sebab-sebab yang bisa mengundang rezeki (dalam hal ini harta). Benarkah pernyataan tersebut?
Jawabannya bisa benar dan bisa salah. Karena menjawab suatu perkara tidak bisa dengan mengeneralisir. Mengatakan benar harus dengan ilmu. Dan bisa salah karena matematika manusia itu tidak pasti. Yang pasti hanyalah ilmu Allah yang punya kehendak atas segala sesuatu. Saat Allah berkehendak atas seseorang kaya maka tak ada yang bisa menghalanginya. Ataupun sebaliknya.
Hanya saja manusia diberikan rambu-rambu yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadits.
Faktor dan sebab pengundang rezeki ada dua yakni sebab duniawi dan juga sebab ukhrawi.
Sebab duniawi ini adalah bekerja dan berusaha.
Bisa jadi seseorang telah disediakan rezeki yang banyak oleh Allah tapi terhalang darinya karena malas dan tidak mau berusaha. Maka pernyataan tadi jika dikaitkan dengan sebab ini mungkin benar adanya.
Sedangkan sebab ukhrawi ini banyak jalannya. Yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Diantaranya bertaqwa, perbanyak sholat, banyak istighfar, bertawakal, menjalin silaturahim, berdoa, selalu bersyukur, menikah, sedekah dan lainnya. (Dalil dan uraiannya tidak dibahas khusus dalam artikel ini karena sudah sering dibahas).
Lantas bagaimana jika hidup seseorang selalu sempit apakah banyak dosa dan sering bermaksiat? Atau karena Allah menghinakannya? Jawabannya bisa jadi salah atau benar.
BACA JUGA: 5 Ciri Rezeki Berkah
Ada namanya sebab terhalangnya seseorang dari rezeki, yakni dibagi menjadi 2: sebab duniawi dan sebab ukhrawi.
Sebab duniawinya adalah karena orang tersebut tidak menjalankan hukum sebab akibat secara duniawi yakni bekerja dan ikhtiar mencari rezeki. Walaupun hukum sebab akibat itu tidak selalu berlaku. Namun menjalankan sebab akan mendapatkan pahala, keberkahan dan keridhoan Allah.
Sebab ukhrawinya adalah dosa dan maksiat. Terutama dosa besar yang sangat banyak jumlahnya. Syirik, riba, sumpah palsu, durhaka, zina, membunuh, gunjing, bertato, mencuri, menyakiti dan mencela manusia dan dosa lainnya.
Selain itu juga bisa karena enggan menjalankan kewajiban. Menelantarkan kewajiban kepada manusia. Tidak membayar zakat, tidak memberi nafkah atau kewajiban lainnya.
Bisa karena enggan menunaikan sebab pengundang rezeki sebagaimana yang dijelaskan di atas. Kufur nikmat, tidak bertaubat/ memohon ampun, tidak tawakal dan sebagainya.
Ibnu Qayyim berkata; “Empat hal yang menghambat datangnya rezeki adalah 1. tidur di waktu pagi, 2. sedikit shalat, 3. malas-malasan, dan 4. berkhianat.” (Zaadul Ma’ad, 4/378).
Adapun kesulitan dan kesempitan seseorang bukan tanda seseorang dihinakan. Atau kelapangan dan banyaknya rezeki bukan tanda Allah memuliakan seseorang.
Standar mulia dan hina itu dilihat dari ketaqwaan seseorang. Allah Ta’ala berfirman,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Rabbku telah memuliakanku”. Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya (menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku” .Sekali-kali tidak (demikian), …[al-Fajr/89:15-16]
BACA JUGA: Suka Mengeluh soal Rezeki? Ini Nasihat Rasulullah ﷺ
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rezeki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya Rezeki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)
Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rezeki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rezeki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rezeki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak. Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rezeki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.” (Kitab tafsir Ibnu Katsir)
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [Saba/34:36]
BACA JUGA: Mengapa Ada Orang Rezeki Lancar Tapi Tidak Shalat dan Zakat
Terkadang, kelapangan rezeki bisa berarti istidraj (dibiarkan bersenang-senang di dunia). Sebaliknya, orang yang disempitkan rezeki dimaksudkan untuk menjaga dan membentenginya. Makna lainnya adalah sempitnya rezeki bagi seorang hamba boleh jadi disebabkan dosa dan kesalahannya. Allah telah berpesan jika kebaikan itu dapat menghapus keburukan.
Pada tingkat yang lebih tinggi, memohon ampunan bahkan menjadi sebab datangnya rezeki dan nikmat. “Dan, sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada me reka air yang cukup. Dengan (cara) itu Kami hendak menguji mereka. (QS al-Jin: 16-17).
Allah berbuat sekehendakNya. Matematika manusia tidaklah sama dengan matematika Allah. Selamanya Ilmu Allah tanpa batas sedangkan manusia terbatas. Jadi tidak tepat bila kita mengeneralisir perkara tentang takdir berangkat dari ilmu Allah yang tidak akan pernah bisa dijangkau oleh makhluk.
Wallahu a’lam bi showab. []