Oleh: Eeng Nurhaeni
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten Selatan
nurhaenieeng@gmail.com
ADA seorang ibu yang membuat racikan obat sendiri untuk diminumkan kepada anak balitanya yang sakit. Ternyata, penyakitnya kian parah hingga dilarikan ke rumah sakit. Beberapa jam kemudian, si anak menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sang dokter muda menyatakan bahwa ramuan yang diberikan ibunya itu memang cocok, namun dosisnya terlalu berlebihan.
Niat baik untuk menyembuhkan anak, ternyata belum tentu berbuah kebaikan. Niat berbuat baik, dan bergegas mengamalkannya, jika tanpa dibarengi unsur “kebenaran” ternyata bisa berujung pada kecelakaan dan kesalahan fatal. Sama halnya ketika seorang remaja berusia belasan tahun, jika dipaksakan melakukan amalan-amalan agama yang kurang cocok dengan pertumbuhan psikologisnya, bisa jadi akan membuatnya kebablasan dan kehilangan akal sehat (baca: Pelajar dari Banten, www.kabarmadura.id).
Beragama dengan baik, harus dibarengi peran akal dan hati nurani. Tidak hanya dicekoki materi-materi keagamaan yang super rumit dan tidak sesuai nalar sehat. Ini membutuhkan sinergitas antara esensi yang bersifat esoteris, dengan eksistensi yang bersifat eksoteris. Iman tanpa ilmu akan sulit mencapai pematangan dan pendewasaannya. Demikian pula ilmu tanpa keimanan yang baik, akan bermuara pada penghambaan terhadap benda dan materi yang bersifat fana dan nisbi semata.
Kiat Mengobati Penyakit, Filosofi Obat-obatan
Kembali kepada filosofi obat-obatan di atas. Si ibu sebenarnya telah memberi asupan obat yang cocok dan sesuai dengan jenis penyakit anak semata wayang yang sangat dicintainya. Tetapi, ia tidak mempelajari ilmu mengenai dosis yang sesuai takaran obat bagi proses penyembuhannya. Mestinya, obat itu diminumkan setengah sendok dalam tiga kali sehari, selama lima hari berturut-turut. Bukan hanya untuk kebutuhan satu hari dan diminum sekaligus sebanyak setengah gelas dalam setiap kali tegukan.
BACA JUGA: 5 Cara Merawat Tubuh Agar Tetap Segar, Sehat dan Terhindar dari Penyakit
Obat memang bersifat menyembuhkan penyakit, tetapi dosis yang salah pada obat, dapat mengubah sifat “menyembuhkan” menjadi “mematikan”, lantaran berbagai efek samping atau kontra indikasi yang ditimbulkannya. Obat yang cocok dengan dosis yang cocok, dan diminumkan sesuai kurun waktu tertentu, dapat menjadi mujarab dan berkhasiat ampuh. Tetapi, obat yang tidak cocok, atau cocok namun diminum tak sesuai takaran, atau sesuai takaran namun tak diminum sesuai tempo dalam rentang yang ditentukan, nampaknya akan sulit menyembuhkan penyakit sang pasien.
Konon, seperti yang disinyalir ilmuwan dan filosof abad ini, Yuval Noah Harari, maraknya penyakit di era hiper modern ini bukan lantaran kekurangan pangan namun karena umat manusia kebanyakan makan. Bahkan, orang bisa mati bukan lantaran tidak adanya obat, melainkan karena kebanyakan obat yang mereka minum.
Kiat Mengobati Penyakit, Menyikapi penyakit
Dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali pernah membahas perbedaan sikap beberapa sahabat Nabi dalam menyikapi penyakit atau rasa sakit. Misalnya, Sahabat Abu Bakar yang pernah jatuh sakit dan menolak untuk berobat, sementara Nabi pernah menganjurkan perlunya berobat bagi si sakit. Al-Ghazali menyebut adanya alternatif sikap yang diputuskan seorang muslim, meski ia sendiri tak menentukan pilihan dari sisi positif maupun negatifnya. Ia hanya mengemukakan beberapa alasan yang memungkinkan seorang muslim menolak untuk berobat di kala sakit.
Dalam tradisi leluhur Jawa ada istilah “weruh sak durunge winaruh”, yang berarti orang menolak berobat bisa jadi lantaran ia telah disingkapkan “tabir” bahwa ia sudah merasakan akan datangnya hari kematian (ajal). Jadi, baginya berobat atau tidak berobat, dianggap sama saja. Orang semacam itu seakan telah diberi keistimewaan mengetahui sesuatu yang belum terjadi, tak terkecuali ihwal ajal kematiannya sendiri.
Selain Abu Bakar, ada tokoh muslim lainnya yang menolak tawaran berobat saat mereka sakit, di antaranya Abu Dzar, Abu Darda, Rabi’ Ibn Khutsaim, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Kendati mereka menolak dengan alasannya masing-masing, tapi pada dasarnya mereka memutuskan tidak berobat pada saat kesempatan berobat itu dimungkinkan. Sementara, mereka sendiri tentu memahami beberapa hadis Nabi yang menyatakan pentingnya berobat bagi si sakit.
Orang yang menderita sakit cenderung sibuk untuk fokus pada kepentingan dirinya. Ia merasa takut akan nasibnya, serta merasakan adanya pengawasan Allah. Dalam kondisi seperti itu, ia bisa lupa terhadap rasa sakitnya sendiri. Hal ini dialami oleh Abu Dzar, ketika ia menderita sakit mata, hingga kedua matanya rabun.
“Kenapa engkau tidak berobat, wahai Abu Dzar?” tanya seorang sahabat.
“Kedua mata saya membuat saya sibuk mengingat Allah,” katanya sambil tersenyum.
Sahabat lainnya bertanya, “Kenapa kau tidak berdoa pada Allah agar segera disembuhkan?”
“Saya selalu berdoa untuk hal-hal yang lebih penting ketimbang hanya rabunnya kedua mata saya.”
Di sisi lain, ada juga orang yang menolak obat lantaran ia meragukan fungsi obat-obatan. Boleh jadi keraguan itu muncul bukan karena obat itu tidak manjur, melainkan karena minimnya pengetahuan mengenai dunia kedokteran dan obat-obatan. Untuk itu, urusan obat dan pengobatan idealnya memang diserahkan kepada otoritas kesehatan, karena mereka memang ahlinya yang paling kompeten di bidang ini.
Kiat Mengobati Penyakit, Sakitnya kaum sufi
Pada kalangan sufi dan tasawuf, banyak yang berpendapat bahwa datangnya penyakit dan rasa sakit itu justru harus disyukuri. Mereka malah ingin berlama-lama dengan “menikmati” anugerah sakit yang diberikan Allah. Karena dengan itu, mereka bisa bersabar dan memperolah banyak pahala dari bersikap sabar. Mereka menghadapi rasa sakit sebagai ujian dan medan pertempuran untuk meraih kemenangan setelah bangkit dari rasa sakit. Alasan seperti ini sangat berkaitan dengan banyaknya hadis Nabi yang menyatakan pahala kesabaran bagi si penderita penyakit. Bahkan, orang yang meninggal karena terserang wabah, dikategorikan sebagai mati syahid.
BACA JUGA: Alquran Sembuhkan Penyakit Hati
Ada juga sebagian orang berpendapat bahwa penolakan untuk berobat karena khawatir dan takut penyakitnya cepat pulih. Biasanya orang semacam ini lantaran sadar dirinya telah bergelimang dosa-dosa besar, sehingga merasa tak sanggup menanggungnya. Ia beranggapan, bahwa menanggung penyakit dalam waktu lama dapat dijadikan “kafarat” atau penebus atas masa lalunya yang telah bergelimang dalam dosa. Di sisi lain, juga merasa khawatir bahwa pulihnya mereka dari rasa sakit, cenderung menyalahgunakan nikmat sehat. Dengan berbaring lama menahan sakit, sekurang-kurangnya dapat meredam kecenderungan-kecenderungan negatif dalam hidupnya.
Dalam konteks ini, ada hadis qudsi yang bisa dijadikan sandaran mereka, bahwa Allah berfirman: “Kemiskinan dan kekurangan dapat memenjarakan hamba-hambaKu. Rasa sakit juga dapat menawan mereka. Aku berhak untuk menawan siapa saja dari hamba-hamba yang Aku cintai.”
Dalam posisi tertawan atau terisolasi, tentu saja seorang koruptor akan mengurungkan niat melakukan korupsi, ketika pelakunya tertawan oleh rasa sakit. Orang yang berniat jahat sekalipun, boleh jadi akan menyadari kekhilafannya, serta mencegah dirinya berbuat jahat, manakala Allah mencintainya dengan menyodorkan ujian sakit, lupa, pikun, lemah, tua, bahkan mati sebelum bertindak jahat.
Bagaimana pula orang mau berteriak-teriak marah dan angkuh, manakala Allah menganugerahinya sakit tenggorokan, paru-paru atau infeksi pita suara? Bagaimana orang mau menumpuk-numpuk uang dan makanan, manakala penciumannya hilang? Sehingga, rasa durian dan sate lezat sama saja dengan rasa roti tawar. Bagaimana orang akan bergelimang kemaksiatan manakala kakinya lumpuh dan buah zakarnya peluh? Adakah kiranya kebaikan lain yang melebihi nikmatnya karunia penyakit?
Kiat Mengobati Penyakit, Nabi Musa Sakit Perut
Musa, seorang nabi dan rasul yang pernah menjengkelkan Khidir ini, suatu hari perutnya melilit dan kejang-kejang. Mungkin ususnya atau lambungnya bermasalah lantaran banyak makan rempah-rempah pedas. Sehingga, ia mengaduh dan memohon ampun kepada Allah. Tak berapa lama, Allah menunjukkan adanya dedaunan dari sebuah pohon agar ia mengunyah dan memakannya, sampai kemudian perutnya pulih dan rasa sakitnya hilang.
BACA JUGA: 6 Obat Ampuh Penyakit Hasad
Di lain waktu, Nabi Musa mengalami hal yang sama. Lagi-lagi perutnya melintir dan sakitnya enggak ketulungan. Sambil memegang perutnya ia pergi ke suatu rerimbunan pohon, mencari-cari daun yang sekiranya manjur untuk mengobati rasa sakitnya. Setelah bersusah-payah mencarinya, akhirnya jenis pohon yang dulu diketemukan lagi.
Dia pun tersenyum sumringah, sambil berceloteh, “Nah, ini dia daun yang dulu pernah menyembuhkan perutku.”
Ia memetik daun-daunnya yang terbaik, lalu memakannya dengan lahap. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Sakitnya justru bertambah parah, dan Nabi yang super sakti pernah membelah lautan itu kelojotan setengah mati, makin melilit-lilit, dan terus berjuang menahan rasa sakitnya.
Diambil lagi daun-daun itu dari pohonnya, dikunyah lagi, tetapi terus saja sakitnya semakin menjadi-jadi. Sampai kemudian, tak ada jalan lain ia mengaduh, berdoa dan meminta ampun pada Allah.
Lalu, bagaimana Allah memberikan tanggapan? Dalam tafsir Imam Fakhrur Razi, Allah berfirman: “Waktu kamu sakit dulu, kamu segera mengingat Aku, maka aku beritahukan adanya dedaunan karena petunjuk dari-Ku. Tetapi sakitmu yang sekarang ini bertambah parah, dan semakin parah, karena kamu melupakan Aku. Bukankah dunia ini penuh dengan racun-racun yang mematikan? Dan tak ada yang sanggup memberikan kesembuhan dari segala-macam racun, kecuali hanya pertolongan Allah semata.” []