Kilas Sejarah
19 Maret 2003, secara resmi Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak dengan kode “Operasi Pembebasan Irak”. Tujuan utamanya adalah untuk melucuti senjata pemusnah masal Irak yang konon katanya memiliki daya jelajah 900 kilometer.
Operasi Pembebasan Irak, yang sejatinya lebih tepat dikatakan sebagai ‘Operasi Pendudukan Irak’ ini menyisakan banyak sekali kejanggalan. Alasan AS untuk membebaskan rakyat Irak dari kediktatoran Saddam Husein sangat bertentangan dengan fakta di lapangan, di mana nama Saddam Hussein begitu dielu-elukan oleh rakyat Irak, kecuali oleh suku Kurdi di utara Irak, yang berideologi Syiah.
Invasi ini tidak lebih dari ketakutan berlebihan AS di bawah kepemimpinan Bush, bahwa eksistensi Israel akan terancam jika Irak memiliki senjata atau peralatan tempur yang canggih. Kekhawatiran ini dipertegas dengan laporan intelijen Bush yang mengatakan bahwa Irak memiliki rudal dengan jarak jangkau 900 kilometer.
Setelah tim Inspeksi PBB melakukan pengecekan langsung, ternyata Irak hanya memiliki rudal yang mampu menjangkau sekitar 10 sampai 15 kilometer saja. Hasil laporan PBB inilah yang membuat Saddam Hussein menyatakan kepada dunia, “Mampukah rudal ini menembus Israel? Mampukah mencapai AS?” (Rujukan)
Pasca Satu Dekade
Setelah lebih dari satu dekade peristiwa penggulingan Pemerintah Saddam Husein, muncul sebuah penyesalan dari seorang warga Irak, Kadhim Hassan Al-Jabouri, yang turut berperan dalam peruntuhan patung Saddam Husein sebagai pertanda digulingkannya pemerintah Saddam Husein pada 2003 silam.
Al-Jabbouri mengatakan kondisi Irak lebih baik ketika berada di bawah pemerintahan Saddam Hussein.
Pilu Sesal si Peroboh Patung Saddam Husein
Kadhim Hassan Al-Jabouri meminta George W. Bush (mantan presiden AS saat itu) dan Tony Blair (mantan Perdana Menteri Inggris waktu itu), meminta maaf atas kebohongan mereka yang menuduh pemerintahan Saddam Husein memiliki senjata pemusnah massal, dan juga mengadu domba penduduk Irak.
“Aku menyesal (ikut) meruntuhkan patung (Saddam),” kata Al-Jabouri yang merupakan seorang Syiah yang kehilangan lebih dari selusin keluarga di bawah kepemimpinan Saddam yang seorang Sunni, demikian seperti dikutip dari Arabnews.
Penyesalan Al-Jabbouri diungkapkan pada Rabu (6/7/2016) setelah mantan pegawai negeri Inggris John Chilcot merilis sebuah laporan tentang peran Inggris dalam invasi pimpinan AS atas Irak.
BACA JUGA: Eks Intel CIA: Saddam Hussein Seharusnya Tidak Digulingkan
Laporan tersebut menyebut kebijakan terhadap Irak saat itu dibuat atas dasar kekeliruan, dimana Irak dituding memiliki senjata pemusnah massal.
Patung Saddam Husein ditarik turun oleh Marinir AS tak lama setelah Jabouri dan warga Irak lainnya melakukan penyerangan pada 9 April 2003. Peristiwa tersebut disiarkan ke seluruh dunia sebagai tanda penggulingan Saddam Husein yang telah seperempat abad berkuasa.
“Aku berharap Saddam kembali; ia (Saddam) dieksekusi oleh banyak golonganku, tapi Saddam masih lebih baik dari politisi dan birokrat yang menguasai Irak lewat cara tersebut,” kata Jabouri, mengacu pada partai politik Syiah yang mengambil alih Irak setelah invasi.
“Blair dan Bush harus dihukum karena mereka telah menghancurkan Irak dengan kebohongan mereka. Ternyata tidak ada senjata pemusnah massal,” tegas Jabouri. []