INI adalah sebuah kisah tentang Lailatul Qadar.
Lebih dari 1442 tahun yang lalu, di bulan Ramadhan yang mulia, seorang lelaki mendaki gunung, mencari tempat perlindungan pribadinya, Gua Hira’.
Dia adalah seorang yang tegap; rambutnya yang bergelombang lembap karena aktivitasnya di tengah panas gurun dan tetesan keringat keluar dari dahinya seperti mutiara yang berkilauan.
Wajahnya yang cerah, yang akan bersinar seperti bulan purnama saat dia tersenyum, sekarang sedang berpikir, dengan sedikit kesedihan dan rasa sakit di sudut matanya.
Pria ini adalah Muhammad ibn Abdullah, damai dan berkah Allah besertanya.
BACA JUGA:Â Â Bisakah Seseorang Mengetahui Waktu Lailatul Qadar?
Dia meninggalkan kaumnya selama beberapa hari, mungkin beberapa pekan, dia membawa makanan dan minuman bersamanya, karena dia tidak bermaksud meninggalkan kaumnya selamanya- karena dia bukan orang yang tersisih.
Faktanya, dia adalah kesayangan orang-orang Makkah: cucu dari salah satu kepala suku yang terhebat, suami dari salah satu pengusaha wanita terkaya dan terkuat di komunitas pedagang.
Dia ada di sini, di tengah gurun, bermil-mil jauhnya dari peradaban manapun, karena dia sakit hati. Muak dengan penyakit luar biasa yang telah menenggelamkan orang Mekkah dalam keracunan terus-menerus, perjudian yang keterlaluan, dan perseteruan suku yang tak ada habisnya.