BAGAIMANA menantu dan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib, mengisi hari raya Idul fitrinya?
Idul Fitri selalu identik dengan sukacita, kebahagiaan, baju baru dan tentunya makan-makan. Tidak salah memang jika umat Islam menyambut Idul Fitri dengan penuh sukacita, bahkan Rasulullah menganjurkan umatnya untuk bersukacita di hari raya.
Pada hakikatnya Idul Fitri bermakna kembali pada fitrah. Kata fitri seakar dengan kata fitrah atau Futuur yang berarti memperbaharui makanan. Sedangkan dalam akhlak disebut fitrah yang artinya suci. Yang mana pada saat Ramadhan umat muslim berusaha membersihkan diri dari dosa, yaitu manusia kembali sampai pada masa untuk mengoreksi diri supaya Allah SWT membersihkannya dari dosa. Jadi dari kata fitrah bisa berarti lembut, suci, bersih. Statemen yang sampai dari Al Quran dan Hadits adalah:
كل مولود يولد على الفطرة
“Setiap yang terlahir, lahir dengan membawa fitrahnya”.
BACA JUGA: 7 Cara Menyambut Idul Fitri Menurut Islam
Selain itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani memiliki pandangan tersendiri soal Idul Fitri. Dalam Al-Ghuniyah li Thalibi Tariqil Haq Azza wa Jalla fil Akhlaq, wat Tashawwuf, wal Adabil Islamiyah, Syekh Abdul Qadir memaknai Idul Fitri sebagai berikut:
“Idul Fitri itu bukan mengenakan pakaian bagus, makan makanan enak, memeluk orang-orang tercinta, dan menikmati segala kelezatan duniawi. Idul Fitri adalah kemunculan tanda penerimaan amal ibadah; pengampunan dosa dan kesalahan; penghapusan dosa oleh pahala; kabar baik atas kenaikan derajat di sisi Allah, ‘pakaian’ pemberian, ‘harta benda’ baru, aneka pemberian, dan kemuliaan; kelapangan batin karena cahaya keimanan; ketenteraman hati karena kekuatan keyakinan; tanda-tanda Ilahi lain yang tampak; pancaran lautan ilmu dari dalam sanubari melalui ucapan; pelbagai kebijaksanaan, kafasihan, dan kekuatan retoris,” (Lihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghuniyah li Thalibi Tariqil Haq Azza wa Jalla, Beirut, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1997 M/1417 H, juz II, halaman 34).
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak menolak hal-hal yang bersifat lahiriyah-material. Tetapi ada yang tidak kalah dari unsur material, yaitu aspek non-material. Baginya, ketakwaan dan penerimaan amal-ibadah jauh lebih penting dari semua yang bersifat lahiriyah.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengutip riwayat Sayyidina Ali RA yang memakan roti dengan kualitas rendah di hari raya Idul Fitri.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali berkunjung dan bermaksud mengucapkan selamat Idulfitri kepada Ali. Namun betapa terkejutnya mereka yang mendapati Sayyidina Ali RA sedang memakan roti dengan kualitas rendah di hari raya Idul Fitri.
“Bukankah ini hari raya wahai Amirul Mukminin? Kenapa baginda memakan roti seperti itu?”
BACA JUGA: Idul Fitri, Ini 5 Keistimewaannya
“Hari raya Idul fitri itu bagi mereka yang puasanya diterima, amal ibadahnya diterima, dan dosanya diampuni. Bagiku, hari ini hari raya Id. Begitu juga esok hari. Setiap hari aku tidak bermaksiat kepada Allah, dan itu artinya setiap hari adalah hari raya Id bagiku,” jawab Sayyidina Ali ra.
Menyaksikan keadaan keluarga Ali yang memprihatinkan ketika hari raya tersebut, Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali merasa sangat sedih dan melaporkannya kepada Rasulullah saw.
Dengan terbata-bata mereka mengadu, “Wahai Rasulullah, putra baginda, putri baginda dan cucu baginda..”
“Tenangkan dirimu, ada apa wahai sahabatku?” timpal Rasulullah menenangkan mereka.
“Segeralah ke rumah menantu dan putri baginda, ya Rasulullah. Saya takut cucu baginda Hasan dan Husein akan sakit.”
BACA JUGA: Shalat Idul Fitri, Kapan Pertama Disyariatkan?
“Ada apa dengan cucuku dan keluargaku?” tanya Rasulullah.
“Saya tak kuat menceritakannya sekarang, lebih baik engkau menengoknya…”
Tanpa pikir panjang, Rasulullah lalu menengok rumah putri dan menantunya tersebut.
Dan betapa kagetnya pula Rasulullah saat melihat keadaan Ali dan Fatimah di saat semua orang bergembira karena hari raya.
Rasulullah berdoa, “Ya Allah, Allahumma Isyhad. Ya Allah saksikanlah, saksikanlah.”
Kisah ini termaktub dalam dua kitab, yakni Sirrah Ashabu an-Nabi karya Syekh Mahmud al-Misri dan Syiar A’lam An-Nubala’ karya Imam Adz-Dzahabi.
Dari keterangan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hari raya Idul Fitri bukan soal mudik atau tidak mudik, bukan masalah pakaian baru-tidak baru, bukan soal bagi-bagi angpao atau tidak. Namun makna Idul Fitri yang sesungguhnya adalah ketakwaan, kebijaksanaan, dan peningkatan iman kepada Allah SWT. []