APA itu ittiba? Kalimat kedua dari syahadatain adalah:
واشهد ان محمدا رسول الله
Maknanya bahwa mengakui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah utusan Allah.
Konsekuensinya adalah ittiba’ (mengikuti seluruh apa yang dibawanya berupa wahyu dan menjadikan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam sebagai teladan /ukhwatun Hasanah).
Kalimat kedua mempunyai 2 rukun:
– ‘abduhu (seorang hamba)
– Wa rasuluhu (sebagai utusan Allah)
Hikmah Allah mengutus Rasul dari kalangan manusia adalah agar mudah mencontohnya. Karena Rasulullah pun punya hawa nafsu, menikah, buang hajat, makan, tidur dan sebagainya. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak bisa mencontoh beliau.
Sebagaimana malaikat, tentu tidak bisa seorangpun mampu meneladaninya karena mereka tidak diberikan hawa nafsu. Dan tugasnya pun berbeda dengan manusia.
Niat saja tidak cukup karena harus dibarengi dengan ittiba (mengikuti tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam).
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Ali ‘Imran: 31)
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
BACA JUGA: Beramal Secara Ihsan
Dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam hal.77 Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran.
Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.”
Kita banyak menyaksikan orang yang merasa sudah melakukan kebaikan karena berpijak dengan niat baik. Menambah-menambahkan, memperbaiki atau menganggap belum pas ibadah tertentu. Seperti dalam redaksi do’a yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam yang dianggap kurang greget sehingga ditambahkan atau dihapus sebagian redaksi dalam hadits tersebut. Hal ini sama artinya menganggap sudah lebih baik dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Bahkan saat sahabat radhiyallahu’anhum beramal berlebihan hingga tidak tidur untuk sholat malam, tidak menikah untuk beribadah atau berpuasa terus karena niat baik lillahi Ta’ala ternyata Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam justru membantahnya dan memerintahkan untuk beramal dengan memperhatikan hak tubuh.
Maka sunnah siapa yang lebih baik kalau bukan sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam?
Kaidah dalam ittiba
1. Agama Islam dibangun di atas wahyu dan dalil yang shahih, bukan akal dan pendapat
2. Wajib bagi seorang Muslim untuk mencari tahu tentang hukum syar’i dan memastikannya sebelum mengamalkannya di dalam semua urusan hidupnya
3. Maksud dari ittiba’ kepada Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam adalah mengamalkan segala ajaran yang beliau bawa
4. Segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia di dalam pokok-pokok dan cabang-cabang agama, di dalam urusan dunia dan akhirat, yang berupa ibadah dan muamalah, dalam keadaan damai ataupun perang, dalam masalah politik atau ekonomi, dan seterusnya, maka syariat telah menjelaskan dan menerangkannya
5. Ibadah-ibadah yang ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak beliau lakukan padahal ada sebab yang menuntutnya pada zaman beliau, maka melakukannya adalah bid’ah sedangkan meninggalkannya adalah sunnah
Sebab-sebab banyak yang tidak ittiba
1. Tidak memahami dalil dengan benar.
2. Tidak mengetahui tujuan syari’at.
3. Menganggap suatu amalan baik dengan akal semata.
4. Mengikuti hawa nafsu semata ketika beramal.
5. Berbicara tentang agama tanpa ilmu dan dalil.
6. Tidak mengetahui manakah hadits shahih dan dho’if (lemah), mana yang bisa diterima dan tidak.
7. Mengikuti ayat-ayat dan hadits yang masih samar.
8. Memutuskan hukum dari suatu amalan dengan cara yang keliru, tanpa petunjuk dari syari’at.
9. Bersikap ghuluw (ekstrim) terhadap person tertentu. Jadi apapun yang dikatakan panutannya (selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), ia pun ikuti walaupun itu keliru dan menyelisih dalil.
Al Bida’ Al Hauliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiri, hal. 37-68, Darul Fadhilah, cetakan pertama, 1421 H.)
BACA JUGA: 8 Amalan Penyebab Datangnya Syafaat Nabi ﷺ
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
((…karena seseungguhnya barang siapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berbegang teguh dengan sunnah-sunnahku dan sunnah untuk Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut ka dengan gera. hati- hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru karena setiap bid’ah adalah kesesatan).” (HR Abu Dawud 4/200 no 4607 in adalah lafal Abu dawud, Al-Hakim 1/174 dan beliau berkata, “Saya adalah hadits yang shahih yang tidak ada ‘illahnya”, Ibnu Hibban 1/180).
Wallahu a’lam bi showab. []