IMAM Al-Ghazali, sebagaimana ditulis Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasami Addimasyqi dalam kitab Mau’izhatul Mukminin (1975: 920) menyatakan, bahwa syukur itu terdiri atas tiga hal yaitu ilmu, keadaan dan perbuatan.
Pertama, ilmunya adalah dengan menyadari bahwa kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata dari Dzat Yang Maha Pemberi Nikmat, Allah Ta’ala. Kedua keadaannya ialah menyatakan kegembiraan yang timbulnya sebab memperoleh kenikmatan tadi, dan yang ketiga amalannya yaitu menunaikan sesuatu yang sudah pasti menjadi tujuan serta yang dicintai oleh Dzat yang memberi kenikmatan itu untuk dilaksanakan.
Selanjutnya beliau menjelaskan, amalan itu saling berhubungan satu sama lain yakni ada yang berhubungan dengan hati, anggota badan dan ada dengan lisan. Berhubungan dengan hati yakni sengaja berbuat kebaikan dan merahasiakannya kepada seluruh makhluk. Dan hubungannya dengan lisan yaitu menyatakan kesyukuran kepada Allah Ta’ala dengan mengucapkan puji-pujian yang menunjukkan kesyukuran itu.
Adapun berhubungan dengan anggota tubuh adalah mempergunakan nikmat yang diterimanya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah yakni Dzat yang mengaruniakan nikmat tadi, serta menjaganya dengan sungguh-sungguh jangan sampai nikmat itu digunakan untuk melakukan perbuatan maksiat.
Seseorang itu dikatakan bersyukur kepada Allah Ta’ala, apabila kenikmatan yang diperolehnya itu dimanfaatkan untuk sesuatu yang diredhai-Nya. Andaikan mempergunakan nikmat yang diterimanya untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan yang digariskan-Nya, atau yang dibenci, apalagi untuk melanggar larangan-Nya, maka yang demikian berarti mengkufuri yakni menutup nikmat itu sendiri.
Harus dimunculkan kesadaran, bukankah semua yang Allah Ta’ala ciptakan di dunia ini sejatinya dipergunakan sebagai instrumen agar dapat dipakai oleh manusia untuk meraih/mengejar kebahagiaan serta kesejahteraannya didunia sampai ke akhirat nanti.
Allah SWT berfirman, “Ingatlah kalian kepada-Ku (dengan ibadah), niscaya Aku akan ingat pula kepadamu. Dan bersyukurlah kalian (dengan ketaatan) kepada-Ku dan jangan kalian mengingkari-Ku (berbuat maksiat)” (QS. Al-Baqarah[2]: 152). Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan makna ‘maka ingatlah kalian kepada-Ku’ [fadzkuruunii], yakni dengan sholat, tasbih dan lain-lain. Sementara: ‘niscaya Aku ingat pula kepadamu’ [adzkurkum], bermakna: ‘niscaya Aku (Allah) balas amalanmu’. Pada Alqur’an Tafsir Alhidayah, disebutkan juga maknanya adalah ‘Allah akan limpahkan rahmat dan ampunan kepadamu’.
Oleh karena itu esensi syukur (atas semua nikmat yang telah diterima) itu diantaranya adalah melakukan ketaatan kepada-Nya dalam segala hal yang disyariatkan, sementara diberinya kemudahan dalam semua urusan, dilimpahkan rahmat dan ampunan, serta dibalasnya semua amal kebaikan dengan ganjaran pahala oleh Allah Ta’ala merupakan suatu pertanda bahwa ‘Allah ingat akan hamba-Nya’. Sebaliknya, jika seseorang yang mempergunakan sesuatu (nikmat) kearah yang tidak sesuai menurut semestinya, atau digunakan untuk hal-hal yang tidak selayaknya, maka orang yang demikian dikatakan telah menutupi nikmat Allah Ta’ala pada dirinya. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak 2 halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.