SUATU kali, Zarif Aarif pergi ke Maroko. Waktu itu, ia masihlah seorang pria Australia Kristen. Di Maroko, Aarif terpesona melihat seni budaya Islam dan ikut merasakan atmosfer budaya islami dalam kehidupan sehari-hari penduduk negeri itu. Di Alhambra ia menyaksikan pemandangan berupa arsitektur bangsa Moor dalam wujud perkebunan yang di bagian dibawahnya mengalir sungai-sungai.
Zarif ingat, ketika kecil dulu, ia senang berayun-ayun di tali lonceng gereka sambil berteriak-teriak menirukan Tarzan ketimbang latihan paduan suara gereja. Ia selalu punya alasan untuk menghindari Tuhan dan tidak ikut misa di gereja. Tapi di suatu pagi, 16 tahun kemudian, entah mengapa ia memutuskan untuk pergi ke gereja.
Sejak saat itu, Zarif merasa benar-benar menjadi seorang Kristiani dan beberapa tahun kemudian ia mendaftarkan diri ke sebuah perguruan tinggi ternama di Tabor untuk meraih gelar sarjana di bidang Alkitab.
Namun, di tempat inilah justru ia semakin gelisah soal pilihan keyakinannya. Di situ, ia mulai medengar desas-desus yang selama ini beredar di kalangan orang-orang Kristen, yang menurutnya kadang melecehkan dan ia tidak yakin informasi yang didengarnya benar.
Tapi informasi itu juga ia dengar dari para pemasok buku ke toko yang ia kelola. “Sejarah Kristen menjadi pembuka mata saya bahwa apa yang terjadi selama dan sesudah perang Salib benar-benar menggangu para penganut agama ini,” tuturnya seperti dikutip dari OnIslam.
Akhirnya, Zarif memutuskan meninggalkan ibadah formalnya karena ia tidak sepakat dengan doktrin yang menempatkan Tuhan dalam kerangka yang dibatasi oleh definisi-definisi. Ia juga menilai organisasi Kristen lebih condong berpolitik dan menonjolkan diri, dibandingkan sebagai wakil sebuah agama. Ia akhirnya memutuskan keluar dari agama Kristen, namun tampaknya waktu itu ia juga tidak mempunyai keyakinan terhadap agama lain.
Sampai akhirnya ketika pada suatu hari, Zarif pergi ke toko buku Islam di dekat hotelnya menginap dan membeli beberapa buku literatur tentang Islam.
“Saya bertanya pada penunjuk jalan saya selama di Saudi. Ia namanya Mahmoud atau Muhammad, saya lupa. Saya bertanya kepadanya dimana saya bisa mendapatkan Al-Quran,” ujar Zarif. Oleh pemandunya itu, Zarif diberikan terjemehan Al-Quran yang bagus dan malam itu juga ia membaca dan berdoa agar diberikan bimbingan padanya saat membaca terjemehan Al-Quran.
Zarif ingat, ayat-ayat pertama yang ia baca adalah tentang para ahli kitab-umat Kristiani dan Yahudi. Begitu jelasnya ayat itu bagi Zarif karena demikian membuka matanya akan sebuah agama yang mengajarkan toleransi, bahkan terhadap keyakinan yang bertentangan dengannya.
Tujuh tahun kemudian Zarif bertemu dengan seorang Muslimah asal Indonesia. Mereka intens berkirim surat dan berdiskusi lewat internet. “Saya secara pribadi kemudian mengunjungi Indonesia; kami bertemu lagi dan berbicara tentang masa depan. Saya melamarnya dan ia menerima,” tuturZarif.
Ia lalu mengurus dokumen-dokumen resmi untuk menikah di Australia. Saat itu Zarif belum masuk Islam, tapi ia sangat menghormati keyakinan isterinya. Hingga pada titik tertentu ia merasa perbedaan agama tidak membuat nyaman pernikahannya. “Saya berpikir dan merenung. Mengajukan banyak pertanyaan dan berdoa selama berbulan-bulan sampai saya merasakan kedamaian dalam hati saya tentang jalan yang akan saya ambil,” tutur Zarif. “Sungguh, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak memeluk Islam. Saya akui saya bukan tipe orang yang rajin ibadah, tapi saya pikir kemalasan itu bisa dihilangkan dengan kemauan dan tekad.”
Zarif pun berkomitmen dan mulai belajar shalat. Ia pergi ke mesjid di Perth, bicara dengan imam di sana dan mengucapkan syahadat di masjid itu. “Meski saya sudah beberapa tahun masuk Islam, saya masih dalam tahap belajar dan saya menikmati proses belajar itu. Sampai saat ini, saya masih tak pernah berhenti berdoa. Dalam Islam, saya merasa di rumah sendiri.” []