INDONESIA Corrupotion Watch (ICW) menuding penjelasan Ketua KPU Hasyim Asy’ari terkait aturan PKPU 10/2023 dan PKPU 11/2023 soal mantan napi korupsi yang diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota DPR, DPRD, maupun DPD RI sebagai informasi sesat. ICW menyebut Hasyim Asy’ari berupaya mengaburkan fakta sebenarnya.
“ICW berharap Ketua KPU RI, Saudara Hasyim Asy’ari, tidak menebar informasi sesat kepada masyarakat terkait muatan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 yang dijadikan argumentasi untuk membenarkan aturan PKPU 10/2023 dan PKPU 11/2023 mengenai mantan napi korupsi yang diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota DPR, DPRD, maupun DPD RI,” kata ICW seperti dalam keterangannya, Kamis (25/5/2023).
ICW menyampaikan Ketua KPU Hasyim hanya mencuplik bagian yang sebetulnya tidak menjadi amar dalam putusan MK. Menurutnya, itu bisa mengaburkan fakta sebenarnya.
BACA JUGA:Â Buntut Sawer Duit di Halaman KPU, Kader NasDem Garut Dipanggil Bawaslu
“Mengapa penting disampaikan bahwa Saudara Hasyim menebar informasi sesat? Sebab, ia hanya mencuplik bagian yang sebenarnya tidak menjadi amar dalam putusan MK dan berupaya mengaburkan fakta sebenarnya,” ucapnya.
Lebih lanjut, ICW membeberkan dalam amar putusan, MK hanya menyebutkan masa jeda waktu lima tahun yang harus dilewati oleh mantan terpidana tanpa pengecualian perhitungan pidana tambahan pencabutan hak politik. Dia menyebut penjelasan KPU bisa membuat para terdakwa korupsi yang berada di lingkup politik mengabaikan masa jeda waktu lima tahun seperti mandat putusan MK.
“Penting untuk Saudara Hasyim dan Komisioner KPU RI lainnya ketahui bahwa amar putusan MK hanya menyebutkan masa jeda waktu lima tahun yang harus dilewati oleh mantan terpidana, tanpa pengecualian perhitungan pidana tambahan pencabutan hak politik,” jelasnya.
“Ke depan dengan logika pikir KPU maka para terdakwa korupsi yang berasal dari lingkup politik akan berharap kepada majelis hakim agar dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik. Sebab, ia tidak harus menunggu masa jeda waktu lima tahun sebagaimana dimandatkan putusan MK. Bukankah itu menunjukkan logika yang bengkok?” lanjut ICW.
ICW pun menegaskan bahwa dua aturan KPU memang dibentuk untuk mengakomodir keinginan rombongan mantan koruptor. ICW mengancam akan uji materi PKPU 10 dan PKPU 11 tahun 2023 ke Mahkamah Agung (MA) jika tidak ada revisi dalam waktu dekat dari KPU.
“Jika dalam waktu dekat KPU tidak mau merevisi ketentuan itu, maka ICW bersama dengan Perludem serta organisasi masyarakat sipil lainnya akan segera mengajukan uji materi PKPU 10/2023 dan PKPU 11/2023 ke Mahkamah Agung,” ujar dia.
Penjelasan Ketua KPU
Sebelumnya, KPU menjawab kritikan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait kesempatan mantan terpidana korupsi bisa maju sebagai calon legislatif tanpa harus melewati masa jeda 5 tahun. KPU menyebut pihaknya tidak menyelundupkan pasal apapun.
“Itu bukan ngarang-ngarang KPU dan bukan penyelundupan pasal, karena sesungguhnya ketentuan itu kami ambil dari pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (24/5).
Dia kemudian memberi contoh perhitungan soal masa jeda bagi mantan terpidana untuk bisa nyaleg. Selain itu, Hasyim juga menjelaskan soal hitungan masa pencabutan hak politik.
BACA JUGA:Â Pengurus Golkar Sumsel Minta Maaf Usai Aksi Sawer Uang di KPU Viral
“Kalau kita baca pertimbangan Mahkamah di dalam putusan MK tersebut kalau ada orang pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan kemudian pada waktu itu berdasarkan putusan pengadilan dikenai tambahan berupa pencabutan hak politik, maka pemberlakuan jeda 5 tahun menjadi tidak berlaku. Karena sudah dibebani sanksi berupa dicabut hak politiknya. Jadi sebagai simulasi, misalkan kalau kemarin pendaftaran bakal calon 1-14 Mei 2023 kalau kita tarik mundur 5 tahun berarti kan Mei 2018 ya, jadi kalau ada orang bebas murninya itu 14 Mei 2018 masih dapat memenuhi syarat sebagai bakal calon, tapi kalau bebas murninya itu setelah 14 Mei 2018 misal Januari 2019 berarti belum genap 5 tahun belum bisa mencalonkan,” ujarnya.
“Atau misalkan ada orang kena pidana dan selesai menjalani pidananya itu status sebagai mantan terpidana pada bulan Januari 2020 misalkan dan kena tambahan pidana berupa pencabutan hak politik 2 tahun, hak politik dalam berarti tidak bisa dicalonkan selama 2 tahun, 2 tahun itu setelah selesai menjalani pidana. Kalau selesai menjalani pidananya Januari 2020 ditambah 2 tahun berarti kan sampai Januari 2022 itu menurut Mahkamah Konstitusi memandang sudah cukup, tidak perlu ditambahkan masa jedanya 5 tahun,” sambung Hasyim. []
SUMBER: DETIK