Oleh: Supadilah Iskandar
– Pengamat sastra mutakhir Indonesia, menjadi tenaga pengajar sastra di pedalaman Banten Selatan
– supadilahiskandar@gmail.com
Di tengah saudara kerabat saya di kampung halaman, kekuatan kubu kiri dan kubu kanan sama kuatnya. Mereka yang rajin sembahyang punya dalih dan dalil tersendiri untuk membenarkan kesalehannya, serta menyudutkan pihak lain yang dianggap kurang saleh. Sebaliknya, mereka yang tak rajin sembahyang juga memiliki alasan dan dalil yang disukai oleh diri mereka sendiri.
Mereka yang rajin melakukan ibadah akan berdalil bahwa ukuran kebaikan manusia itu tergantung pada salat yang dilakukannya. Jika salatnya benar maka benarlah seluruh amal perbuatannya, tetapi jika salat ditinggalkan maka ia pun tergolong murted dan layak menjadi ahli neraka. Mereka yang tak rajin beribadah punya pendapat berbeda, bahwa pangkal dari kebikan dan keburukan manusia adalah “hati” yang membentuk segumpal darah dalam organ tubuh manusia. Jika hatinya bersih, maka bersihlah semua organ-organ tubuh lainnya, tetapi jika hatinya kotor maka kotorlah organ-organ lainnya.
Mereka yang salat akan berpendapat, justru dengan melaksanakan salat itulah yang membuat hati menjadi bersih. Namun, yang enggan salat juga mengatakan bahwa kalau hatinya kotor, mau salat jungkir-balik siang-malam juga tetap saja perbuatannya jahat. Buktinya, tidak sedikit koruptor pemakan uang rakyat, yang salatnya rajin, bahkan berdiri di shaf terdepan tiap salat Jumat.
Kedua kubu itu punya kapasitas keilmuwan, dan karenanya kehidupan mereka cukup berada dan makmur. Yang satu memiliki rumah megah dan tanah berhektar-hektar, yang lainnya membanggakan mobil mewah yang dimilikinya. Yang satu memakai dalil Aa Gym bahwa Allah tidak melihat dengan tampilan fisik melainkan apa yang tersirat di dalam kalbu. Sementara, yang lainnya berpendapat bahwa apa-apa yang nampak harus menjadi ukuran, sebagai pendidikan dan pelajaran berharga bagi mereka yang melihat secara kasatmata.
BACA JUGA: Shalat dan Pembangunan Akal Sehat
Pada saat duduk antara dua sujud ketika melaksanakan salat, kita meminta pada Allah, “wa irfa’ni, wa irzuqni, wa ihdini”. Kita memohon agar ditinggikan derajat dan kedudukan, serta dianugerahi rizki dan petunjuk. Jika seorang hamba meminta rizki, maka pengertiannya sangat luas, sebab diberi kesehatan, petunjuk maupun ketenangan hati, adalah bagian dari rizki juga. Bagaimana dengan rumah megah, mobil mewah dan tanah berhektar-hektar, apakah menjamin kesehatan dan ketenangan batin bagi pemiliknya?
Ada orang yang meminta agar ditutup aib dan kekhilafannya, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Menutupi aib dan kesalahan. Tetapi, permintaan yang berkualitas justru ketika seorang hamba minta agar dirinya ditutup dari kemungkinan berbuat salah dan dosa. Nampaknya berbeda, ketika seseorang minta diberi kemuliaan dan ditutup aib-aibnya, itu artinya dosa-dosa dan kesalahan itu sudah telanjur dia lakukan, baik disengaja maupun tak disengaja. Kemudian, dia bertobat, minta ampun, dan Allah Maha Penutup segala aib dan kesalahan manusia. Sedangkan, hamba yang meminta agar dijauhkan dari aib dan dosa, maka dosa dan kesalahan itu belumlah dia lakukan, karena dosa-dosa itu telah menjauh dari dirinya.
Ketika seseorang dibuka aibnya, tertangkap polisi dan tergbongkar oleh KPK karena kesalahan yang ia perbuat, maka nilai kekayaannya menjadi tak bermakna. Sebagaimana orang sakit parah yang tak lagi mempedlikan harta dan kekayaannya. Baginya, yang terpenting adalah sehat dan pulih kembali dari sakitnya, bisa bernafas lega, bisa makan dan minum kembali, meskipun tak apa tidak bisa menikmati sate maupun durian.
Di sisi lain, banyak orang meminta rizki dan kedudukan tinggi, yang selalu identik dengan urusan uang, gelar dan jabatan tinggi. Tetapi, ia lupa bahwa anugerah kesehatan dan ketenangan hidup adalah bagian dari rizki yang terbaik. Bahkan, kita dapat berkreasi dan membagikan karya kepada publik, juga merupakan rizki yang tak tertandingi. Pernahkah kita pikirkan, berapa harga otak, jantung atau paru-paru yang ada dalam rongga dada kita maupun anak-anak kita, jika harus dioperasi atau ditransplantasi? Pernahkah kita meminta agar jantung kita dan keluarga kita, dijaga dan dirawat baik oleh Allah?
Tidak sedikit orang berdoa, beribadah, puasa dan salat malam, tetapi yang diminta hanyalah rizki yang diidentikkan dengan urusan uang dan duit melulu. Doa karena uang, salat karena uang, puasa juga diniatkan karena uang. Namun, ketika uang itu tidak jatuh dari langit, maka selesai dan kapoklah dari aktivitas berdoa. Padahal, Allah menjamin bahwa setiap doa-doa kita senantiasa diijabah dan dikabulkan. Dan setiap hamba yang meminta rizki, maka permintaan itu pasti dipenuhi oleh Allah, meskipun tidak harus dalam bentuk uang, dan tidak mesti dikabulkan saat ini juga.
Ketahuilah, bahwa doa itu adalah esensi ibadah (mukhul ibadah). Menjalani hidup tanpa disertai dengan aktivitas doa, berarti orang itu telah kehilangan esensinya sebagai hamba Allah. Dapat pula dikatakan, bahwa orang itu talah ingkar, angkuh dan sombong dari kekuasaan dan keperkasaan Allah. Ia seakan undur-diri, dan tak lagi mempercayai Allah sebagai Yang Maha Kaya dan Penggenggam seluruh jagat raya ini. Banyak yang melakukan salat, tetapi mereka lupa akan esensi makna salat yang sebenarnya, yakni “doa”.
BACA JUGA: Sesuatu Bernama Syukur: Puisi-puisi Karya Supadilah Iskandar
Kita harus terus memupuk sikap optimistis untuk berbaik sangka (husnudzon) pada Allah, dan konsep ini harus terus-menerus diajarkan kepada setiap manusia, apapun agamanya. Berbaik sangka pada Allah akan membangun harapan baik, percaya diri, dan merasa bahwa setiap langkah hidup kita selalu bersama Allah. Menolong agama Allah identik dengan berbaik sangka kepada-Nya, serta membangun harapan kebaikan pada manusia dan semesta alam.
Meninggikan kalimat Allah (lii’lahi kalimatillah) identik dengan mengedukasi masyarakat pada sikap optimistis dan percaya diri, bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan, pasti akan mendapat balasan, dan berbuah kebaikan pula. “Aku akan menempatkan diri sesuai persepsi hamba-hamba-Ku,” demikian firman Allah.
Untuk itu, kalau kita berkarya dan membangun imajinasi publik, serta menyebarkan opini dengan menciptakan perspesi negatif tentang keadilan Tuhan (absurditas), maka percayalah, bahwa Tuhan akan memposisikan diri-Nya dalam dakwah persepsi yang kita bangun itu, disengaja atau tak disengaja. Ini merupakan tantangan dan pukulan berat bagi para intelektual dan sastrawan yang selama ini menginduk pada pola penulisan, dengan menganut gaya eksistensialisme Barat.
Sifat Allah berbeda dengan kebanyakan manusia, karena semakin sering kita meminta kepada-Nya, justru Dia semakin senang dan cinta kepada kita. Dan doa, adalah pembuktian ketaatan dan pengakuan manusia selaku hamba Allah. Tatapi, kebanyakan manusia justru merasa kesal dan jengkel bila keseringan diminta oleh orang lain, bahkan oleh saudara-kerabatnya sendiri.
Doa dan permintaan kepada Allah harus disertai sikap sabar, dan tidak terburu nafsu (la ta’jal). Sikap tergesa atau terburu-buru akan menimbulkan rasa bosan dan frustasi, sehingga ia akan mudah putus asa dari rahmat Allah.
Kembali pada soal perdebatan tentang salat di atas, ketika muncul gugatan perihal orang yang rajin melaksanakan sembahyang, tetapi kemudian tertangkap oleh KPK karena kasus korupsi yang ia lakukan, kemudian dipenjarakan selama tujuh tahun. Apakah selama ini salatnya tak berpengaruh, atau doa-doanya tak terkabul?
Justru tertangkapnya dia oleh KPK dan dipenjarakan selama tujuh tahun itu adalah jalan terbaik baginya. Karena, bukankah ia rajin salat dan meminta kebaikan dari Allah? Boleh jadi, mendekamnya ia di penjara adalah jalan kebaikan yang sering dia mintakan dalam doa-doanya selama ini. Sebab, kalau tidak tertangkap dan dipenjarakan, siapa tahu dia akan semakin terlena dan melakukan dosa besar yang lebih parah lagi, semakin merugikan rakyat, serta mencelalakan dirinya di kemudian hari.
Bukankah kehidupan seorang beriman itu dikelilingi oleh doa-doa, tidak saja doa-doa yang diminta oleh dirinya sendiri. Tetapi juga doa kebaikan dari orang-orang di sekitarnya (orang tua, guru, istri, anak, saudara kerabat), semuanya berdoa untuk kebaikan dirinya. Jika Allah menentukan kebaikan hidupnya melalui proses penangkapan oleh KPK karena melakukan keburukan (korupsi), boleh jadi melalui jalan itulah muncul pertobatan dan pembersihan jiwa-jiwanya yang selama ini terkotori oleh segala dosa, kejahatan dan kemaksiatan.
Dengan demikian, kecukupan, kesehatan, dan ketenangan jiwa, adalah anugerah Allah yang mesti disyukuri. Sebanyak dan sebesar apapun pemberian Allah, sama sekali tak terasa kenikmatannya bila tidak disyukuri. Bukankah nikmat hidup itu adalah soal “rasa”? Walaupun menikmati rasa itu tetap dibatasi oleh ruang dan waktu. Lalu, apa pula yang bisa dinikmati dari kuliner lezat dan nikmat, kalau mulut kita tak memiliki rasa? Belum lagi, soal kualitas tidur yang tak bisa diukur dengan durasi waktu maupun kasur empuk yang mahal harganya, melainkan soal ketenangan batin dan jiwa?
Untuk itu, selayaknya kita mengadakan redefinisi tentang konsep rizki atau nikmat Tuhan. Janganlah ukurannya semata-mata kelimpahan harta kekayaan, mobil mewah, rumah megah dan tanah yang luas. Semua itu takkan sanggup mengungguli berbagai nikmat yang tak nampak, dan kadang tak disadari oleh kita, seperti hidup tenang, sehat walafiat, keluarga bahagia, tertutupnya aib, kemuliaan hidup, dan seterusnya.
Di dalam ajaran Islam, dianjurkan bagi kita untuk menjadikan sabar dan salat menjadi tumpuan dan pelipur lara dalam hidup ini. Adapun salat (doa) adalah manifestasi dari rasa syukur. Itulah kualitas salat yang terbaik, ketimbang salatnya kaum terjajah (takut siksaan) atau salatnya kaum pedagang (cari keuntungan). Bahkan, politisasi salat sebagai tameng untuk mencari perhatian dan pencitraan, identik dengan perilaku orang alim yang mendustakan agama.
Dalam surah Al-Jumuah ditegaskan, bahwa rizki yang berkah itu adalah ukuran Tuhan, bukan ukuran keinginan kita sendiri. Dan rizki yang berkah itu, pasti mendatangkan ketenangan batin dan ketentraman hidup. Bahkan, lebih membahagiakan ketimbang hanya kesenangan fana dan sesaat, seperti hiburan, entertainment dan bisnis (min allahwi wat-tijarah).
BACA JUGA: Gadis Cantik Sebagai Anugerah Tuhan
Kalau hidup kita mementingkan kesenangan yang bersifat fana, seberapa lama sih makanan lezat itu melewati lidah dan kerongkongan? Seberapa lama sih kenikmatan hubungan cinta (maaf, sex) bisa memenuhi hasrat biologis manusia? Atau, jikapun Anda bersikeras mempertahankan kekuasaan, popularitas dan kekayaan duniawi, seberapa lama sih Anda bisa bertahan hidup di dunia ini?
Mari kita muhasabah, introspeksi dan bercermin diri. Apa yang kita cari dan perjuangkan dalam hidup manusia yang hanya beberapa tahun atau beberapa puluh tahun ini? Kalaupun manusia bersikeras mempertahankan kekuasaan hingga 32 tahun, lalu apa sih arti 32 tahun dalam masa perhitungan Tuhan? Hanya sepintas dan sekejap mata saja.
Apakah Anda, baik yang tidak rajin sembahyang, maupun yang rajin menjalankannya, hanya akan sibuk berbaris bersama mereka yang kembali mengulang-ulang kebodohan, tanpa mau berkorban untuk menyumbang bagi perbaikan moral bangsa? Apakah sama orang yang dengan tulus-ikhlas berbuat demi kebaikan, dengan orang yang berbuat buruk namun merasa dirinya telah berbuat baik? []