Oleh: Enzen Okta Rifai, Lc.
Alumni perguruan tinggi International University of Africa, Republik Sudan
enzenoktarifai@gmail.com
PADA saat kita duduk di antara dua sujud ketika melaksanakan salat, seketika kita membaca doa: “Ya Tuhanku, ampunilah aku, sayangilah aku, cukupkanlah hidupku, angkatlah derajatku, berilah aku rizki dan seterusnya.” Di situ nampak jelas bahwa permintaan kita agar dicukupkan dalam hidup, lebih utama ketimbang permintaan atas rizki. Seringkali kita memahami bahwa persoalan rizki identik dengan perkara uang, kemegahan dan kemewahan duniawi. Lalu, untuk apa kemewahan itu jika pikiran tidak tenang, atau badan kita sakit? Kalaupun kita sedang sehat, tentu pikiran kita juga terganggu bila istri atau salah satu dari anak-anak kita menderita sakit atau gelisah.
Katakanlah dalam tahun-tahun ini seseorang memperoleh rizki melimpah secara materi, tetapi jika aib dan kesalahannya terbongkar, boleh jadi ia terpuruk dalam kenistaan. Lalu, untuk apakah rizki melimpah yang ia peroleh, kalau bukan untuk menghabiskannya sebanyak apapun agar dapat mempertahankan dejarat dan pemulihan nama baiknya di mata masyarakat?
Bolehlah rumah kita megah dan kendaraan mewah, tetapi seberapa hebat kemegahan kita dapatkan, tetap akan kita korbankan untuk menebus manakala salah satu anak kita harus ditransplantasi jantungnya hingga membutuhkan biaya bermilyar-milyar. Itu baru harga satu organ tubuh, lalu bagaimana dengan puluhan dan ratusan organ tubuh lainnya, jika kita harus membayarnya?
BACA JUGA: Rezeki, Cukuplah dari Allah Saja
Untuk itu, mestinya kita sering-sering meminta “dicukupkan” oleh Allah ketimbang sekadar meminta rizki dan kekayaan. Sebab, dengan hidup yang cukup, sudah terkandung di dalamnya kekayaan jiwa, ketenangan hidup, kesehatan diri kita, istri dan anak-anak, serta tak membutuhkan kemewahan apapun karena sudah merasa tercukupi. Orang yang merasa cukup (qana’ah) akan melahirkan ketenangan batin dan jiwa, lalu apa yang mesti dilakukan ketika seseorang merasa cukup, kecuali hanya bersyukur sebanyak-banyaknya, hingga nikmat itu akan terus ditambah dan ditambah terus.
Merasa kurang
Banyak pengusaha di negeri ini, ketika menjawab wawancara selalu yang dikatakannya, bahwa pendapatan perusahaannya masih di bawah target dan merasa belum cukup. Anak-anak menganggap orang tuanya kurang murah hati, kurang perhatian, hingga ujung-ujungnya merasa yang diberikan orang tuanya belum cukup, atau kurang banyak.
Semua merasa dirinya kurang dan kurang. Semua yang dipersoalkan adalah jumlah yang banyak dan melimpah. Lalu, kapan kita bisa merasa cukup? Bukankah “cukup” itu soal kepuasan hati, keridhoan jiwa, lalu bagaimana seseorang dapat mensyukuri pemberian (anugerah) jika hatinya selalu “ngambek” dan merasa belum cukup?
Sesungguhnya, mengucapkan kata “cukup” bukan berarti kita berhenti berusaha dan berkarya. Jangan sampai diartikan sebagai kondisi stagnan atau jalan di tempat. Juga bukan dalam arti kecewa, skeptis, frustasi, hingga malas untuk melangkah lebih maju. Akan tetapi, pengertian “merasa cukup” membuat kita melihat dan menikmati apa-apa yang sudah mampu kita raih dan dapatkan.
Sama halnya dengan sifat “sabar” yang tak boleh diartikan sebagai diam maupun pasif, melainkan pengendalian diri atau sikap hati-hati (wara), serta mental dan jiwa yang tangguh, karena sudah terlatih agar selalu kembali kepada Allah, manakala ditempa oleh berbagai cobaan dan ujian hidup, sepahit apapun.
BACA JUGA: 4 Cara Bersyukur agar Tidak Kufur Nikmat
Jangan sampai kita terpedaya menjalani hidup terlampau obsesif dan ambisius, hingga kerakusan dan ketamakan mengejar dunia, membuat kita tak bisa merasa “cukup” atau selalu ngambek pada pemberian Allah. Belajarlah mencukupkan diri dengan apa yang ada pada diri kita hari ini dan seterusnya, dengan begitu jiwa kita akan terasa ringan, dan senantiasa bersyukur dalam kelapangan serta bersabar dalam kesempitan.
Bukan bangsa ngambek
Merasa ngambek pada pemberian Allah, akan membawa implikasi pada keraguan, setengah-setengah, yang membuat seorang hamba ogah-ogahan mensyukuri nikmat Allah (sedikit bersyukur). Seringkali kita berkeluh kesah atas segala ketetapan dan pemberian Allah, karena kita merasa sok tahu atas kebutuhan-kebutuhan hidup kita. Padahal sejatinya, Allah-lah yang mengetahui segala kebutuhan hidup, sejak kita diciptakan, di dalam kandungan, pada saat ini, masa depan, hingga ajal kematian nanti.
“Dia-lah Yang menyempurnakan dan meniupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuh manusia, dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, tetapi kenapa sedikit sekali kamu bersyukur?” (As-Sajdah: 9). Di dalam Alquran, seringkali Allah memperingatkan kita, bukan saja dengan rizki yang kita peroleh, melainkan selayaknya kita mensyukuri anugerah berupa kelengkapan anggota dan organ-organ tubuh, bahkan penglihatan mata, pendengaran telinga, hingga kepekaan jiwa dan hati nurani sekalipun.
Nikmat sehat juga bagian dari kecukupan rizki, sehingga kita mampu beribadah dan beraktivitas. Nikmat ide dan gagasan (petunjuk), hingga kita sanggup merancang agenda untuk memperoleh rizki dan kemuliaan hidup, belum lagi banyaknya rizki yang kita peroleh secara tak terduga, di luar jangkauan pemikiran rasional kita. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman: 77). Jika pun kita bahasakan dengan logat dan dialek kita sehari-hari, sebenarnya ayat-ayat tentang nikmat Allah itu mengandung arti: “Yuk kita bersyukur, kurang apa lagi?”
Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menegaskan, “Ada kenikamatan hidup yang seringkali manusia terpedaya dan melupakannya, yakni kesehatan dan waktu luang.” Dalam kitab Fathul Bari, seorang pemikir dan ulama besar Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa kecukupan dan kenikmatan hidup yang dialami oleh hamba Allah, sejatinya adalah buah atau manfaat dari ketulusan dan kebaikan yang dilakukannya terhadap orang lain.
Dengan kata lain, jika kita berbuat baik kepada orang lain pastilah kita memetik hikmah kebaikan darinya. Untuk itu, sehaluan dengan wasiat Nabi Muhammad kepada para sahabat dalam khutbah terakhirnya di Padang Arafah: “Jangan suka menyakiti orang, jika kalian tak mau disakiti oleh orang lain.” Pernyataan Rasulullah ini bila diterjemahkan dengan bahasa Abdullah Gymnastiar: “Kebaikan yang kita lakukan pastilah hikmahnya akan didapat oleh pelaku kebaikan itu, tidak mungkin menyasar ke alamat yang salah. Begitupun dengan sebaliknya.”
BACA JUGA: Medsos dan DNA Kaum Inlander
Nikmat itu akan datang bila kita mengikatnya dengan rasa syukur. Jangan sampai nikmat yang melimpah sebagai negeri gemah ripah loh jinawi, namun kita tergolong bangsa yang selalu merasa kekurangan, suka ngambek dan sedikit bersyukur.
Bersyukur dengan apa-apa yang kita miliki, niscaya kita takkan khawatir dengan apa yang belum kita miliki. Dalam kondisi apapun, Allah senantiasa menghadirkan kenikmatan dan kebahagiaan. Hidup nikmat bukan soal angka melainkan soal rasa. Dalam dunia sastra, kita mengenal gestur dan karakteristik manusia. Tentu tidak sama orang yang benar-benar berbuat baik (ahli syukur), ketimbang orang yang merasa dirinya berbuat baik. Rizki yang berkah senantiasa membawa ketenangan jiwa dan batin bagi pemiliknya. Tetapi, rizki yang tak berkah, sebanyak apapun, selalu akan mengundang kekurangan dan kefakiran dalam mental dan jiwanya.
Berkat rasa syukur itulah, maka kita dapat memanfaatkan waktu luang dengan sebaik-baiknya, agar terus berkarya dan memberi manfaat kepada sebanyak-banyak manusia, seluas-luas wilayah dan selama-lamanya waktu. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.