QUDWAH hasanah artinya teladan terbaik. Menjadi contoh terdepan dalam kebaikan.
Bukan sekadar bisa menasehati orang lain tetapi dia menjadi pelopor pertama mengamalkan kebaikan tersebut. Ada pepatah yang mengatakan bahwa 1 keteladanan lebih berharga daripada 1000 nasehat.
Sebelum menjadi teladan bagi orang lain maka wajib terlebih dahulu untuk meneladani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena pada diri beliau shalallahu’alaihi wasallam terdapat teladan terbaik (Qudwah Hasanah) di setiap aspek kehidupan bagi setiap muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baikbagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah Ta’ala” (QS. Al Ahzab: 21)
Qudwah Hasanah: Menurut Imam Ibnu Katsir
Mengutip dalil di atas, QS al- Ahzab: 21 maka Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata tentang ayat ini,
“Ayat yang mulia ini merupakan fondasi/dalil yang agung dalam meneladani Rasûlullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perkataan, perbuatan, dan keadaan beliau. Orang-orang diperintahkan meneladani Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam perang Ahzâb, dalam kesabaran, usaha bersabar, istiqomah, perjuangan,dan penantian beliau terhadap pertolongan dari Rabbnya. Semoga sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada beliau sampai hari Pembalasan.” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/391,penerbit: Daru Thayyibah]
Tidak dipungkiri zaman sekarang manusia lebih senang menasehati daripada seorang memberikan teladan. Maunya aktif berbicara tapi sulit mau menjadi pendengar.
BACA JUGA: 6 Hal Pengundang Pertolongan Allah kala Menghadapi Badai
Qudwah Hasanah: Yang Mengamalkan Ilmunya
Seorang yang layak disebut qudwah hasanah adalah seseorang yang terbukti bisa mengamalkan ilmunya dan menjadi pelopor dari setiap kebaikan.
Allah berfirman: “Telah bertasbih kepada Allah Ta’ala apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada dibumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Wahai orang-orang yang beriman, kenapa engkau mengatakan apa-apa yang engkau tidak lakukan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaf : 1-3)
Sungguh sangat besar kebencian Allah terhadap orang yang ahli menyampaikan ilmu tapi tidak mengamalkan. Padahal ilmu adalah untuk diamalkan, bukan untuk sekedar postingan dan dijadikan perdebatan.
Dalam Kitab Mu’idun Ni’am wa Mubidun Niqom, Tajuddin Assubki, hal: 84-85 disebutkan, “Di antara mereka (yang berilmu agama), ada segolongan orang yang memang tidak meninggalkan amal-amal wajib, tapi senang ilmu dan PERDEBATAN, dia senang bila dikatakan: “Si Fulan sekarang adalah pakar fikih di daerah ini”, kesenangannya terhadap hal-hal itu sampai mendarah daging, hingga kesibukannya untuk itumenghabiskan sebagian besar waktunya.
Dan dia pun menyepelekan Al-Qur’an, lupa dengan hapalan Qur’annya, tapi meski seperti itu dia tetap bangga, dan mengatakan: “Kamilah para ulama.”
Apabila dia mendirikan sholat fardhu, dia memang sholat 4 raka’at, tapi tidaklah dia mengingat Allah di dalam sholatnya kecuali sedikit, sholatnya dicampuri dengan memikirkan permasalahan (yang lain).
Para ulama dahulu sangat paham bahwa murid mereka tidak hanya mengambil ilmu darinya, tetapi juga mencontoh penerapan ilmu mereka berupa adab dan akhlak yang baik.
Qudwah Hasanah: Kisah Imam Ahmad bin Hanbal
Perhatikan kisah Imam Ahmad bin Hanbal yang mempunyai banyak murid, akan tetapi mayoritas muridnya tidak mencatat ilmu, namun ingin sekedar bertemu danmelihat Imam Ahmad yang merupakan sumber motivasi mereka dalam berilmu dan beramal. Hal ini karena Imam Ahmad telah memberikan contoh yang baik berupa ilmu, amal, dan akhlak yang mulia.
Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata, “Hadir di majelis Imam Ahmad ada sekitar lima ribu orang atau lebih. Lima ratus orang menulis (pelajaran), sedangkan sisanya hanya mengambil contoh keluhuran adab dan kepribadiannya.” (Siyaru A’lamin Nubala’ 21/373, Mu’assasah Risalah,Asy-syamilah)
Ibnul Qayyim berkata, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah) jika ditimpa perasaan takut yang berlebihan, timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, maka kami mendatangi beliau, dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Asy Syamilah)
3 Kriteria Yang Tidak Layak Menjadi Teladan Yang Baik (Bukan Qudwah Hasanah)
Allah Ta’ala berfirman, “…Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi : 28)
Menurut imam Ibnu Katsir bahwa yang dimaksud:
Kriteria pertama,
Orang yang lalai dari mengingat Allah Ta’ala.
Yakni orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan dunia, melupakan agama dan menyembah Tuhannya.
Kriteria kedua,
Orang yang mengikuti hawa nafsu yakni orang yang sering bermaksiat dan melakukan dosa.
Kriteria ketiga,
Orang yang melampaui batas ada 2 jenis:
1. Orang yang menyia-nyiakan kewajiban-kewajiban yang telah Allah wajibkan kepadanya
2. Orang yang berlebih-lebihan (ghuluw) dalam menjalankan syariat.
BACA JUGA: 8 Perjalanan Setelah Kematian
Karenanya kriteria yang layak menjadi teladan adalah kebalikan dari ketiga kriteria diatas yakni banyak mengingat Allah, taat kepada Allah dan orang yang selalu menjaga agamanya/ berhati-hati terhadap aturan Allah Ta’ala (wara’).
Qudwah Hasanah: Dalam Hadist
Banyak hadits yang menggambarkan qudwah hasanah. Diantaranya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. At-Thabrani)
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bertanya kepada sahabat, “Siapakah diantara kalian yang puasa pada hari ini?” Abu Bakr radhiyallahu anhu berkata, “Saya.”Nabi bertanya, “Siapakah diantara kalian yang mengiringi atau mengantarkan(pemakaman) jenazah pada hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya.”Nabi bertanya lagi, “Adakah diantara kalian yang memberikan makan kepada orangmiskin hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya.”
Nabi bertanya lagi, “Adakah diantara kalian yang menjenguk orang sakit pada hariini?” Abu Bakr berkata, “Saya.” Lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda,”Tidaklah kebaikan-kebaikan ini berkumpul pada seseorang kecuali dia akan masuk surga”(HR. Muslim)
Zainab binti Khuzaimah digelar Ummu masakin yakni ibu bagi para orang miskin.
Karena kedermawanan beliau dan menyantuni anak yatim.
Wallahu a’lam bi showab. []