HAFALAN hadist Imam Ahmad bin Hambal sungguh sangat luar biasa. Banyak yang dihafal. Banyak yang beliau baca dan kaji dari kitab-kitab hadits. Kehebatan hafalan beliau dipersaksikan oleh para imam dan ahli hadits di zamannya.
Abu Zur’ah berkata, “Ketika Ahmad bin Hambal wafat, aku kumpulkan karya-karyanya, ternyata mencapai lebih dari 12 pikul. Tidak ada riwayat atsar dan hadits yang tertulis dengan tinta baik di sampul kitab atau di dalam isinya, kecuali semua telah dihafal oleh Ahmad lengkap dengan jalur perawinya.”
Abu Zur’ah juga pernah berkata kepada Abdullah bin Ahmad bin Hambal, “Ayahmu menghafal sejuta hadits.”
Abdullah berkata, “Dari mana engkau tahu wahai Abu Zur’ah?”
“Aku pernah bermajelis dengan ayahmu. Beliau sebutkan hadits-hadits itu dari hafalannya. Aku kumpulkan menjadi sekian banyak bab.”
BACA JUGA: Ibadahnya Imam Ahmad bin Hanbal
Adz Dzahabi memberikan catatan kaki bahwa yang dihafal oleh Ahmad hingga mencapai sejuta itu bukan hanya hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi termasuk atsar shahabat, fatwa tabi’in, tafsir mereka, dan ucapan-ucapan yang semisal dari para salaf. Adapun matan (naskah asli) dari hadits yang diriwayatkan sampai Nabi (tanpa menghitung yang terulang) sekitar 10.000 hadits.
Ali bin Al Madini menyaksikan bahwa di zaman beliau tidak ada yang lebih hebat hafalannya dari pada Ahmad bin Hambal. Walaupun begitu, ketika beliau menyampaikan hadits, kitab yang berisi riwayat-riwayat hadits itu selalu ada di hadapannya. Sungguh hal ini menunjukkan kehati-hatian yang sangat tinggi dari seorang imam yang kuat hafalannya. Ambillah sikap beliau ini teladan bagi kita dalam menyampaikan ilmu. Jangan bersikap ceroboh. Sampaikanlah ilmu dengan cermat dan hati-hati.
Pembaca, ketinggian derajat yang telah dicapai oleh Imam Ahmad dalam ilmu adalah hasil dari tekad baja dan keteguhan jiwa dalam menuntutnya. Jiwa raga ini, jika dicurahkan untuk menggali ilmu maka mutiara-mutiara yang terpendam akan terkuak. Imam Ahmad bin Hambal begitu serius dalam menuntut ilmu. Waktu yang panjang dilalui. Perjalanan yang jauh ditempuhnya. Kefakiran ia jalani dengan penuh kesabaran. Tak rela disibukkan dengan urusan mencari nafkah. Ia pun tunda menikah untuk menggali dan mendulang mutiara-mutiara yang lebih berharga.
Coba kita perhatikan bagaimana kesungguhan sang imam dalam menuntut ilmu. Al Khallal bercerita bahwa Waki’ bila hari telah gulita, ia berlalu dari majelis hadits dan saling mengingatkan bersama Ahmad. Keduanya berdiri di dekat pintu lalu masing-masing bergantian membacakan hadits demi hadits lengkap dengan perawinya.
Waki’ terlebih dahulu membacakan hadits, “Ahmad! Aku akan bacakan untukmu sebuah hadits yang aku dengar dari Sufyan.”
“Baik. Bacakanlah.”
“Apakah engkau hafal hadits Sufyan dari gurunya, Salamah bin Kuhail, yang lafazhnya demikian dan demikian?”
“Ya aku hafal hadits ini. Namun aku mendengarnya dari Yahya dari gurunya, Salamah bin Kuhail, juga dari Abdurrahman dari gurunya, Salamah bin Kuhail. Lalu sekarang aku mendengarnya darimu dari Sufyan dari Salamah.”
Setelah itu giliran Imam Ahmad, “Wahai guruku, apakah engkau pernah dengar hadits yang lafazhnya demikian yang juga datang dari Salamah bin Kuhail?”
“Tidak.”
Kemudian Imam Ahmad membacakan hadits tersebut lengkap dengan perawinya.
BACA JUGA: Imam Ahmad dan Istighfar Seorang Tukang Roti
Demikianlah secara bergantian pengulangan hafalan ini berlalu tanpa peduli waktu. Dan baru berhenti ketika seorang pelayan mengingatkan kedua imam ini bahwa malam telah larut. Kegiatan ini bukanlah terjadi sekali dua kali namun sudah menjadi kebiasaan bagi Imam Ahmad dan gurunya. Tak heran jika Ahmad begitu hafal dengan hadits-hadits yang beliau dapatkan dari jalan gurunya, Waki’ bin Al Jarrah.
Di antara buktinya, beliau pernah meminta kepada anaknya, Abdullah untuk mengambil salah satu kitab hadits dari Waki’ bin Al Jarrah lalu menyuruhnya untuk membaca sembarang hadits yang ada dalam kitab tersebut.
“Bacalah lafazh hadits sekehendakmu! Aku akan sebutkan sanad haditsnya. Atau sebaliknya, sebutkan sanad perawinya, niscaya akan aku bacakan hadits yang diriwayatkan.” []
Sumber: Majalah Qudwah edisi 4 vol.01 1434H/2013M rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnaini. | Berbagi Faedah