Oleh: Muhammad Nuh
ANAS bin Malik pernah mengisahkan. “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah saw., beliau bersabda, ‘Akan datang seorang laki-laki penghuni surga.’ Kemudian seorang laki-laki dari Anshar lewat di hadapan mereka sementara bekas wudhu masih membasahi jenggotnya, sedangkan tangan kirinya menenteng sandal.
“Esok harinya, Nabi saw. bersabda lagi, ‘Akan lewat di hadapan kalian seorang laki-laki penghuni surga.’ Dan, muncul laki-laki kemarin dengan keadaan persis seperti hari sebelumnya.
“Besok harinya, Rasulullah saw. bersabda lagi, ‘Akan lewat di hadapan kalian seorang laki-laki penghuni surga.’ Tidak berapa lama, orang itu datang seperti keadaan sebelumnya.
“Setelah itu, Rasulullah saw. beranjak dari tempat duduknya. Abdullah bin Amr bin Ash mengikuti lelaki tersebut. Ia mengatakan, ‘Aku sedang punya masalah dengan orang tuaku, aku berjanji tidak akan pulang ke rumah selama tiga hari. Jika Anda mengizinkan, aku akan menginap di rumah Anda.’
“Lelaki itu menjawab, ‘Silahkan.’
“Selama tiga hari tiga malam menginap, Abdullah tidak pernah mendapatinya qiyamul lail. Hanya saja, tiap kali terjaga dari tidurnya, ia membaca dzikir dan takbir hingga menjelang subuh. Kemudian mengambil air wudhu. Lelaki itu pun tidak mengucapkan sesuatu, kecuali yang baik.
“Hampir saja, Abdullah bin Amr menganggap remeh amalan lelaki Anshar itu. Ia mengatakan, ‘Wahai hamba Allah, sebenarnya aku tidak sedang bermasalah dengan orang tuaku. Aku mendengar Rasulullah mengucapkan sesuatu selama tiga hari berturut-turut: akan lewat di hadapan kalian, seorang laki-laki penghuni surga. Selesai beliau saw. mengucapkan itu, ternyata yang muncul selama tiga hari berturut-turut adalah Anda.
“Karena itulah saya ingin mengetahui amalan apa yang sering Anda lakukan. Sejujurnya, saya tidak melihat Anda melakukan amalan yang berpahala besar. Sebenarnya, apa yang sering Anda lakukan sehingga Rasulullah mengucapkan hal itu?
“Lelaki Anshar itu menjawab, ‘Seperti yang Anda saksikan, aku tidak melakukan amalan apa-apa. Hanya saja, aku tidak punya rasa iri kepada sesama muslim, atau hasad terhadap kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya.’
“Abdullah bin Amr pun berucap, ‘Rupanya itulah yang menjadikan Anda menjadi sangat istimewa. Sebuah amalan yang kami tidak mampu melakukannya.” (Az-Zuhdu, Ibnul Mubarak hal. 220)
***
Kisah ini memberikan kita banyak hal. Betapa sesuatu yang kita anggap kecil, ternyata begitu besar di sisi Allah swt. Lelaki Anshar di kisah itu sukses dalam dua hal besar sekaligus: hubungannya kepada Allah swt yang ditandai dengan senantiasa syukur, zikir, dan takbir. Dan terhadap manusia yang ditandai dengan bersih dari hasad dan iri.
Tidak heran jika seorang sahabat kenamaan sekaliber Abdullah bin Amr bin Ash akhirnya berujar, “Rupanya itulah yang menjadikan Anda menjadi sangat istimewa. Sebuah amalan yang kami tidak mampu melakukannya.” []