TENTANG Nabi Musa dan Nabi Harun, Allah SWT berfirman dalam Surah Thaha (20) ayat 92-94:
قَالَ يٰهٰرُوْنُ مَا مَنَعَكَ اِذْ رَاَيْتَهُمْ ضَلُّوْٓا ۙ (92) اَلَّا تَتَّبِعَنِۗ اَفَعَصَيْتَ اَمْرِيْ (93) قَالَ يَبْنَؤُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِيْ وَلَا بِرَأْسِيْۚ اِنِّيْ خَشِيْتُ اَنْ تَقُوْلَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِيْ (94)
Berkata Musa, “Wahai Harun apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat?! (92) Mengapa engkau tidak mengikutiku, apakah engkau sengaja melanggar perintahku?” (93) Dia (Harun) menjawab, “Wahai, putra ibuku, janganlah engkau pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku. Aku sungguh khawatir engkau akan berkata (kepadaku), ‘Engkau telah memecah belah antara Bani Israil dan kau tidak menjaga amanatku.'”
Apa yang dimaksud dengan pertanyaan Nabi Musa kepada Nabi Harun, “Mengapa engkau tidak mengikutiku?!” Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa maksud Nabi Musa adalah, “Ketika kesyirikan itu terjadi, mengapa engkau tidak tinggalkan mereka?! Mengapa engkau dan mereka yang masih beriman tidak berangkat ke Tursina untuk menyusulku dan mengabarkan kesyirikan yang mereka lakukan kepadaku?”
BACA JUGA: 4 Hikmah Pengulangan Kisah Nabi Musa dalam Al-Quran
Sebagian ahli tafsir lainnya berpendapat bahwa maksud Nabi Musa adalah, “Ketika melihat mereka melakukan kesyirikan itu, mengapa engkau tidak mengikuti perintahku?! Mengapa engkau tidak menasihati dan melarang keras mereka?!”
Ada beberapa hal yang menunjukkan kemarahan Nabi Musa yang luar biasa, baik dalam rangkaian ayat di atas maupun ayat-ayat lainnya yang mengisahkan momen ini, yaitu:
Pertama, pertanyaan-pertanyaan beliau yang bertubi-tubi kepada Nabi Harun.
Kedua, Nabi Musa memegang kepala dan janggut Nabi Harun sembari menariknya ke arah beliau.
Ketiga, Nabi Musa melemparkan lembaran-lembaran Taurat yang beliau bawa. Allah berfirman dalam Surah Al-A’raf (7) ayat 150:
وَلَمَّا رَجَعَ مُوْسٰٓى اِلٰى قَوْمِهٖ غَضْبَانَ اَسِفًاۙ قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُوْنِيْ مِنْۢ بَعْدِيْۚ اَعَجِلْتُمْ اَمْرَ رَبِّكُمْۚ وَاَلْقَى الْاَلْوَاحَ وَاَخَذَ بِرَأْسِ اَخِيْهِ يَجُرُّهٗٓ اِلَيْهِ ۗقَالَ ابْنَ اُمَّ اِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُوْنِيْ وَكَادُوْا يَقْتُلُوْنَنِيْۖ فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْاَعْدَاۤءَ وَلَا تَجْعَلْنِيْ مَعَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ
Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia, “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?!” Dan Musa pun melemparkan luh luh (Taurat) itu dan memegang rambut kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata, “Hai anak Ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku. Sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim.”
BACA JUGA: 7 Fakta dalam Al-Quran yang Mengagumkan!
Perhatikan bagaimana Nabi Harun menyeru Nabi Musa dengan “wahai putra Ibuku” bukan dengan “wahai saudaraku”, padahal mereka berdua adalah saudara kandung. Panggilan ini beliau ucapkan sebagai pengingat bagi diri beliau dan juga bagi Nabi Musa bahwa ibu keduanya pasti tidak suka mereka bertengkar dan juga untuk mengingatkan bahwa mereka berdua berasal dari satu rahim sehingga seharusnya mereka tidak bertengkar.
Kemudian, Nabi Harun menjelaskan, “Aku tidak membawa Bani Israil yang masih beriman untuk menyusulmu karena aku khawatir itu justru akan menimbulkan perpecahan yang lebih besar di kalangan Bani Israil, bahkan bisa terjadi kekacauan yang lebih besar seperti pertumpahan darah di antara mereka atau kesyirikan mereka yang menjadi lebih parah.”[]
SUMBER: TAFSIR AT TAYSIR | PUSAT STUDI QURAN