BANYAK ulama hingga pakar psikologi modern, yang menganalisis Rabiah aAdawiyah sebagai sosok wanita yang memliki kecerdasan di atas rata-rata. Dengan kualitas kecerdasannya, ia mampu menjawab berbagai persoalan yang diajukan dengan kecepatan tinggi. Sehingga, tidak jarang ulama menjulukinya sebagai wanita cendekiawan yang memiliki ilmu laduni.
Rabiah termasuk tokoh sufi pertama dalam sejarah tasawuf yang dikenal di kalangan intelektual dan akademisi Eropa. Dalam berbagai biografinya, diceritakan bahwa sejak masa kanak-kanak, Rabiah sudah memiliki kapasitas berpikir laiknya orang-orang dewasa. Ia tergolong anak pendiam, lantaran hidup di lingkungan keluarga yang sederhana dan apa adanya. Keistimewaan dan kekuatan memori dan daya ingatnya terbukti, karena sejak usia 10 tahun ia sudah mampu menghafal Alquran, bahkan dengan pemahaman yang mendalam.
Meskipun ia tak pernah menduduki bangku sekolah formal (al-kuttab) namun orang tua Rabiah tak ayal untuk selalu mengajar dan mendidiknya di dalam rumah. Ayah Rabiah menghendaki agar anaknya terpelihara dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang bisa menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya. Ia sering membawa Rabiah kecil ke masjid yang tak jauh dari rumahnya (kota Basrah).
Di tempat yang tenang dan nyaman, Rabiah kecil diajarkan untuk lebih mengenal “Allah” dengan baik. Namun kemudian, ketika ia beranjak remaja, ia sudah menjadi yatim karena ditinggal mati oleh ayahnya. Selang beberapa tahun kemudian, ia pun ditinggal mati oleh ibunya. Dalam keadaan terpukul karena kehilangan dua buah hatinya, Rabiah nampaknya sudah memiliki bekal yang kuat, kepada siapa dia harus bersandar.
Secara psikologis pada awalnya ia merasa kehilangan pegangan hidup, namun segera ia mengingat pemeliharaan Allah Rabbul Izzati, penggenggam langit dan bumi. Ia teringat kepada pendahulunya junjungan Nabi Muhammad, bahwa ia pun sejak masih kanak-kanak sudah ditinggal mati oleh ibunya (Aminah), bahkan ia tak pernah hidup dalam asuhan dan pemeliharaan ayahnya. Sepanjang siang dan malam Rabiah terus bertafakur dan berzikir. Hanya kepada Allah sajalah ia berserah diri, mengadukan nasib dan mempersembahkan seluruh jiwa raganya.
BACA JUGA: Kisah Miswar dan Teko Emas
Dalam biografi yang ditulis Atiyah Khamis, Rabiah Adawiyah terus bekerja-keras secara mandiri bersama tiga kakaknya. Mereka menenun kain, memintal benang di rumah sang majikan, sementara Rabiah sendiri mencari penghasilan tambahan dengan menyeberangkan orang melewati sungai, dengan perahu kecil peninggalan ayahnya. Namun demikian, Rabiah dan kakak-kakaknya berusaha menjalaninya dengan penuh ketabahan. Mereka menyadari bahwa apa-apa yang dikonsumsi oleh tubuhnya – sebagaimana ajaran orang tuanya – telah ditempuh melalui jalan halal, meski mereka harus bekerja dengan “penjual jasa” bagi kepentingan majikannya.
Di tengah Intrik politik
Kota Basrah, ketika Rabiah dan ketiga kakaknya tumbuh dewasa, dipenuhi oleh intrik politik yang saling silang sengkarut. Di masa itu, Basrah dikenal sebagai kota persinggahan dari segala bangsa dan kepercayaan agama. Banyak pertentangan antara satu aliran dengan aliran lainnya, bahkan antara suku kabilah dengan bangsa-bangsa lainnya. Di tahun antara 720 hingga 724 Masehi, tampillah rezim Yazid bin Abdul Malik yang sangat gandrung pada kemewahan dan kemegahan duniawi, sampai kemudian terjadilah macam-macam pemberontakan di kalangan rakyat jelata. Tak berapa lama, muncullah pemerintahan baru dari golongan Mawali, yang pada awalnya menentang pemerintahan lama, namun kemudian menjelma sosok baru yang lebih buruk bagaikan musang-musang berbulu domba.
Sejak saat itu, kota Basrah yang dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan, semakin berubah menjadi kota pusat pertikaian dan intrik politik kotor. Di dalamnya saling bertikai memperebutkan kedudukan politik di antara kaum ekstrim, baik dari kalangan Khawarij maupun Syiah fanatik. Di era tersebut (737 Masehi), tercatat dalam sejarah sebagai era pemberontakan Khawarij yang dilakukan oleh sekelompok mafia politik yang berhasil membunuh gubernur Irak, Khalid, di bawah pemerintahan Khalifah Hisyam. Tak berapa lama, muncullah pemberontakan oleh kaum Syiah fanatik, setelah dua orang tokohnya dijatuhi hukuman mati oleh Khalifah Hisyam, yakni Ghailan Dimisqy dan Ja’ad bin Dirham.
Dalam suasana pertiakaian dan intrik politik itu, kota Basrah di mana Rabiah dan ketiga kakaknya tumbuh dewasa, akhirnya mengalami paceklik dan kemarau panjang. Terjadilah kekeringan dan kemiskinan yang menyelimuti seluruh penduduknya, dari tingkat perkotaan hingga pelosok desa. Selanjutnya, kota Basrah diliputi oleh bencana alam di sana-sini, seperti angin puting beliung, munculnya hama dan gagal panen selama bertahun-tahun. Sehingga, kota yang pada mulanya subur-makmur itu berubah menjadi kota yang dilanda kemiskinan dan kemelaratan. Kondisi demikian diperparah dengan meningkatnya pencurian dan perampokan. Hai ini tidak hanya membuat penduduk menderita dan kekurangan pangan, tetapi juga rasa takut dan kengerian di sana sini.
BACA JUGA: 4 Hikmah Pengulangan Kisah Nabi Musa dalam Al-Quran
Rabiah Adawiyah terpaksa harus mengungsi bersama ketiga kakaknya. Mereka mengembara dan berkelana ke berbagai daerah. Kehidupan mereka kocar-kacir, antara disatroni para pembegal dan perampok hingga menjual diri sebagai budak belian. Rabiah sendiri pernah jatuh di tangan para perampok untuk diperjual-belikan ke pasar-pasar budak.
Di tangan majikannya, ia hanya diberi makanan ala kadarnya, tubuhnya menjadi kering kerontang. Pakaiannya hanya sepotong, sekadar kain compang-camping pembalut tulang. Upaya untuk mendekatkan diri dan taqarrub, bahwa Allah Maha Memelihara dan Menggenggam jagat raya ini telah terpateri di dalam jiwa dan kalbunya. Ia terus menjalani takdirnya dengan khustuk dan penuh kesabaran. Ketika majikannya memberi kesempatan untuk bersembahyang, ia pun membasuh muka dan membersihkan dirinya dengan berwudlu, lalu mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Bangkit dari penderitaan
Tidak ada orang yang dapat merasakan pahit dan madunya derita kecuali orang yang pernah mengalaminya sendiri. Rabiah tumbuh dewasa dan semakin matang pribadinya, bahkan kehidupan rohaninya. Itu pasti karena kerelaan dan keikhlasannya dalam menerima takdir hidup yang dijalaninya. Ia sering terjatuh dalam derita, berduka, bahkan kecewa karena terluka, tetapi ia tetap teguh dan sabar dalam menjalaninya. Ia mampu menjadi pribadi yang kuat hingga sanggup menanggulangi dan mengatasi kepedihan, kemalangan, kekalahan dan duka derita dengan rasa tawakkal, disertai dengan keberanian dan kemauan keras untuk mengatasi segala ujian hidup.
Boleh jadi ia masih ingat para pembegal dan perampok yang memperjual-belikan dirinya di pasar-pasar budak, namun ia sudah memaafkannya, bahkan mendoakan mereka agar menyadari segala dosa dan kekhilafannya. Mungkin ia pernah kehilangan kepercayaan pada mereka, namun lewat perjalanan waktu, ia menyadari ajaran agamanya yang arif dan bijak, bahwa Allah Maha Pengampun dan Penerima taubat dari setiap hamba-Nya, sebesar apapun dosa yang pernah dilakukan sang hamba. Di sisi lain, tentu Rabiah masih mengingat para poltisi dan penguasa di zamannya yang serba korup, menumpuk harta dan berlomba dalam kemewahan dan kemegahan duniawi. Saat itu, sebagaimana tercermin dalam surah Al-Kahfi mengenai para penghuni gua, Rabiah tidak menjatuhkan pilihan untuk tenggelam dan hanyut dalam dekadensi moral masyarakatnya, akibat ulah dari perilaku pemimpinnya. Ia memilih untuk mengasingkan diri, menjauhi para penguasa korup, dari segala kebisingan dan kegaduhan kaum politisi yang serba pamer popularitas dan kesombongan diri.
Hidup dalam pengasingan, bahkan sebagai budak belian, Rabiah tetap tekun menjalani ibadah, seperti yang menjadi cermin orang tuanya, terlebih diteladani oleh Muhhammad selaku nabi dan rasulnya. Hanya kepada Allah Rabiah mengadu dan berserah diri, serta memohon perlindungan dan keselamatannya.
Dalam pertumbuhannya sebagai wanita dewasa, Rabiah menyadari akan makna cinta kepada sesama manusia maupun kepada hak milik dari kemewahan dan perhiasan. Segala sesuatu akan terasa indah bila bersama orang yang dicintai. Bila berpisah akan memunculkan kerinduan, dan bila berdekatan akan terasa akrab dalam kesenangan dan keindahan. Namun, cinta yang bersifat duniawi pada akhirnya akan terpisahkan oleh jarak, ruang dan waktu, bahkan oleh kematian yang akan memisahkan segalanya. Tetapi cinta yang sejati, adalah cinta kepada Allah Sang Pencipta, yang merupakan cinta hakiki dari Sang Pemilik cinta itu sendiri.
BACA JUGA: Kisah Cinta Indah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra
Cinta Rabiah kepada Allah semakin matang dan mendalam. Cintanya kepada Sang Khalik seakan tak menyisakan ruang yang tertinggal di hati atau pikirannya untuk kepentingan lain. Suatu malam, majikannya pernah melihatnya sedang berdoa, kemudian terdengar suaranya dari celah-celah kamarnya yang sempit: “Ya Allah, selama ini aku telah menjadi budak dari manusia yang kuanggap sebagai tuan dan majikanku. Seandainya aku dalam keadaan merdeka, aku akan persembahkan seluruh waktu dan hidupku untuk sepenuhnya menghamba dan bersimpuh kepada-Mu.”
Sang majikan merasa tergetar hatinya, sampai kemudian ketika fajar tiba, ia pun memanggil Rabiah, dan dengan ketulusan hati ia pun memerdekakannya.
Pada prinsipnya, apapun yang dijalani Rabiah selama hidupnya adalah bagian dari takdir dan rencana Allah yang telah dirancang secara sempurna di Lauhul Mahfudz. Segala ujian dan cobaan hidup hakikatnya datang dari Allah, bahkan apa-apa yang disebut sakit dan derita, akan terasa ringan ketika sang hamba mampu memasrahkan diri kepada Allah. Rabiah sangat terampil memikul segala problem yang dijalaninya dengan penuh ketabahan hati dan keberanian. Rasa sakit yang bagaimanapun takkan pernah menarik perhatiannya, sehingga tak mampu mengusik dan mengganggu keikhlasannya.
Setelah menjadi manusia merdeka, ia begitu terampil menjalani kehidupan tasawuf, sambil mengajar dan membimbing orang-orang yang tekun menelusuri jalan kerohanian, hingga mencapai maqam dan derajat kesufian yang semakin matang dan dewasa. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.