Oleh: Soni Ariawan
ariawansoni@gmail.com
“Ya Tuhan kami, berilah kebaikan di dunia, juga kebaikan di akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Al Baqarah:201)
KESUKSESAN adalah tujuan semua manusia. Karenannyalah manusia berjibaku bekerja keras melakukan semua cara dan memaksimalkan usaha. Kesuksesan yang dicari setiap orang pun bermacam-macam. Itu kenapa definisi kesuksesan setiap orang berbeda-beda. Ada yang mencari kesuksesan berupa memiliki rumah mewah, mobil mewah, jabatan, pangkat, dan ada juga yang mencari kesuksesan akhirat dengan berharap masuk surga sehingga mereka hanya memaksimalkan semua usaha di dunia supaya bernilai ibadah di sisi-Nya.
Sukses Mulia. Sebuah istilah yang menarik untuk diperbincangkan. Saya menemukan istilah ini pertama kali di buku Kubik Leadership karya Jamil Azzaini dkk. Setelah membaca ulasan di buku tersebut, saya langsung sepakat dengan idenya bahwa kesuksesan tanpa kemuliaan adalah sebuah kekosongan.
Percuma memiliki harta berlimpah dan jabatan prestisius tetapi jauh dari kebahagiaan batin karena hilangnya keberkahan atau kemuliaan dari harta dan jabatan yang dimiliki. Karena sejatinya hakikat penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana firmanNya: “Aku tidaklah ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah hanya kepada Ku.” (QS Adz-Dzariyat:56)
BACA JUGA: 3 Rahasia Kesuksesan
Dalam konteks kesuksesan dan kemuliaan, bisa diartikan bahwa kesuksesan dunia semestinya membawa kita kepada totalitas ibadah kepada Zat yang memberi kita kesuksesan. Akan menjadi sangat kontradiktif ketika kesuksesan dunia justru menjauhkan kita dari ibadah kepadaNya.
Marilah kita belajar dari salah seorang murid sekaligus sahabat Rasulullah ﷺ, Abu Darda. Beliau dijuluki sebagai orang bijak yang tiada duanya, filosof yang karismatik. Dalam buku karya Khalid Muhammad Khalid yang berjudul 60 Sirah Sahabat Rasulullah ﷺ, diulas ketika Abu Darda menceritakan dirinya dengan detail bagaimana beliau meninggalkan bisnisnya karena takut melalaikan zikrullah, mengingat Allah.
“Sekarang, meskipun setiap hari aku mendapat untung 300 dinar, atau bahkan toko itu berada di depan masjid, aku sama sekali tidak akan tertarik,” ungkapnya. Lihatlah, bagaimana Abu Darda sudah berada pada puncak kenikmatannya beribadah, sampai-sampai meninggalkan urusan dunia.
Untuk menjadi persis seperti Abu Darda, barangkali kita masih jauh. Minimal kita tidak terpedaya oleh urusan dunia sehingga lupa urusan akhirat. Padahal Allah menyuruh kita mengambil sedikit saja dari dunia dan menguatamakan porsi terbesar untuk urusan akhirat.
“Carilah negeri akhirat pada nikmat yang diberikan Allah kepadamu, tapi jangan kamu lupakan bagianmu dari dunia.” (QS Al-Qosos: 77)
Pada ayat ini, jelas bahwa Allah menyuruh kita untuk mengambil bagian di dunia dan memanfaatkannya untuk kehidupan akhirat. Artinya, kehidupan dunia semata-mata adalah sebuah proses untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan abadi di akhirat. Rasulullah juga pernah bersabda: “Yang sedikit mencukupi, lebih baik daripada yang banyak melenakan.“
“Menjauhlah dari dunia sebisa kalian karena barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, Allah akan mencerai-beraikan kekuatannya, dan menjadikan kemiskinan di depan matanya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, Allah akan menghimpun kekuatannya, menjadikan kecukupan di hatinya dan Allah memudahkannya mendapat kebaikan.”
Dari hadits di atas, jelas bahwa orientasi kita akan kehidupan ini akan mendapatkan dua konsekuensi. Jika orientasi kita dunia, maka Allah akan miskinkan. Tetapi jika orientasi kita akhirat maka Allah akan mencukupkan.
Dengan kata lain, jika kita memilih dunia maka tidak mungkin akan mendapatkan akhirat dan belum tentu mendapatkan dunia. Sebaliknya, jika kita memilih akhirat, maka otomatis dunia didapat, akhirat juga akan diraih.
Berikut ini saya akan sajikan sebuah cerita yang cukup menyentuh hati tentang seorang miskin yang merintis karir sampai menjadi konglomerat. Namun, di puncak kesuksesannya justru dia belum merasakan sebuah kepuasan. Seperti ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Apakah itu? Mari kita simak kisah berikut ini.
Dikisahkan ada seorang pria yang mulai merintis karir menjadi seorang office boy di salah satu bank swasta.
Bermodalkan ijazah SMA, dia pun diterima bekerja. Nasib seorang office boy ini sangat mujur. Karena kejujurannya maka dia diangkat menjadi seorang karyawan bank tersebut. Semakin hari kinerjanya semakin menyita perhatian pimpinan.
Dia bekerja dengan hati, keikhlasan, penuh kesabaran, dan profesionalisme, maka atasan mempromosikannya menjadi salah satu manajer, sampai kemudian menjadi seorang vice director (wakil direktur). Sekarang, dia sudah hidup dengan materi yang sangat berkecukupan, rumah mewah, mobil mewah, tidak kurang satu apapun.
Tetapi apakah dia selalu bahagia? Tidak. Sebaliknya, dia merasa ada sesuatu yang belum lengkap dalam dirinya. Tapi apa?
Suatu hari dia diundang di acara buka bersama di salah satu panti asuhan. Selepas shalat tarawih bersama, langkahnya dihentikan oleh seorang anak kecil. Anak tersebut menarik celana pria tadi. “Ada apa nak”, di pikirannya pasti anak ini mau minta uang. “Mau berapa nak, kasitahu saja, saya punya uang yang banyak”.
Tetapi bapak itu salah menebak. Anak itu hanya meminta 1 hal saja “Pak, maukah bapak saya panggil ayah”. Pria tadi tertunduk, hatinya tersentuh, air matanya mengalir. “Iya nak, aku ayahmu, panggil saja ayah. Besok ayah kesini lagi, kamu mau dibawakan apa? Sebut saja, mainan, boneka atau apa saja”.
BACA JUGA: Letak Kemuliaan Seorang Muslim
Lagi-lagi pria tadi salah menebak. “Tidak yah, aku hanya mau dibawakan foto ayah dan keluarga. Aku mau perlihatkan ke teman-temanku di sekolah bahwa aku punya ayah, ibu dan kakak.” Lelaki tadi kembali tertunduk lemah mendengar pinta sang anak. Deraian air mata mengiringi pelukan eratnya. Betapa sang anak tadi merindukan kasih sayang orang tua yang selama ini hilang, tak pernah dirasakannya.
Akhirnya, kedatangan pria tadi untuk kedua kalinya disambut meriah oleh anak-anak panti. Dia membawakan pakaian baru dan barang kebutuhan anak-anak panti. Kini, pria tersebut menemukan apa yang dicari selama ini.
Kisah di atas memberikan kita hikmah bahwa kesuksesan harus bernilai kemuliaan.
Gunakan kesuksesan yang kita raih untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. Dengan begitu semua pencapaian dunia akan bernilai pahala dan kita akan selalu bahagia. Tetap semangat untuk menjalani aktivitas, semoga menjadi pribadi yang produktif, sukses dunia dan akhirat. Selamat menyelami samudera hikmah dari setiap mozaik kehidupan yang kita jalani. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.