DARI sekian banyak anak remaja yang saya temui sejak tahun 2012, sedikit sekali yang percaya sama “keajaiban”.
Anak-anak ini lebih yakin bahwa kemiskinan yang mereka derita, warisan dari orangtua, hanya akan mencampakkan mereka pada 2 opsi hidup setelah SMA: kerja atau nganggur.
Mereka nggak percaya bisa kuliah secara kuliah mahal. Mereka ga yakin mereka bisa punya usaha sendiri karena ga punya modal.
BACA JUGA: Blok Blok Blok
Pun begitu, ada aja 1 atau 2 anak yang nggak sudi dikalahkan oleh perhitungan dangkal manusia. Anak-anak yang menolak menjadi orang kalah sebelum tarung. Alhasil mereka rela nongkrong lama-lama di kantor, sharing, sama-sama belajar.
And you know what, anak-anak yang sedikit ini, saya suka kaget sendiri, campur senang, jika tiba-tiba datang mengabarkan, “Pak, saya di Jerman”, “Pak, aku dapat beasiswa di Jepang.. ” Atau tiba-tiba kucluk-kucluk datang ke rumah ngasih amplop atau kantong plastik merek alfa, “Ini buat anak-anak Bapak yaa.. ”
BACA JUGA: Apa Hubungan Baca Al-Quran dan Pekerjaanmu?
Uh itu, rasanya, ngeliat mereka menjadi dokter, guru, polisi, insyinyur dan lainnya, saya ikut bangga dan bahagia, karena saya tahu banget, mereka berasal dari keluarga biasa aja cenderung miskin.
Mereka adalah anak-anak yang menolak kalah dalam hidup. Mereka yang percaya akan keajaiban dalam kehidupan. []