Oleh M. Anwar Djaelani
Aktivis MIUMI Tinggal di Malang
KETIKA Nabi Nuh As bersama kaum beriman selamat dari adzab Allah–berupa banjir besar-, sang istri dan sang anak justru tenggelam karena memilih bersama kaum kafir. Tatkala Nabi Luth As bersama kaum beriman selamat dari adzab Allah –negeri mereka dibalik dan dihujani batu dari tanah yang terbakar-, sang istri justru tidak dalam posisi bersama sang suami. Maka, membaca dua hal itu, kita merenung: Akankah kelak kita bisa masuk Surga sekeluarga bersama-sama?
Usaha, Usaha!
Surga? Siapa yang tak mengingininya? Ternyata, masuk Surga itu, tidak dalam posisi sendirian. Ke Surga, kita akan masuk bersama-sama dengan hamba-hamba Allah yang lain. Cermatilah! “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku” (QS Al-Fajr [89]: 27-30).
Nilai kebahagiaan kita akan tak terkatakan jika semua anggota keluarga kita termasuk yang dimaksud dengan“Jamaah hamba-hamba-Ku yang masuk Surga”. Tentu, hal seperti itu sangat bisa dipahami karena sangat manusiawi. Tapi, berdasar –setidaknya- dua kisah pahit dari keluarga Nabi di awal tulisan ini, kita memang harus tekun berusaha agar sekeluarga bisa masuk Surga bersama-sama.
Istri Nuh As dan istri Luth As adalah contoh dari istri yang berkhianat kepada suaminya. Istri Luth As, misalnya, dia tak mau beriman dan tak membantu tugas sang suami. Dia malah bekerjasama dengan kaum Luth As dalam tindak kemunkaran.
Kedua wanita tersebut, meski termasuk orang yang dekat dengan Utusan Allah, namun mereka termasuk orang yang ingkar kepada kebenaran dan tidak mau beriman kepada Allah. Oleh karena itu, keduanya dijadikan sebagai perumpamaan dalam Al-Qur`an untuk tidak kita contoh.
Sementara, di keluarga Nuh As, kecuali sang istri maka sang anak juga membangkang atas ajaran yang dibawa sang ayah. Jadilah, sang anak juga ditelan gelombang bah yang besar.
Kita insya-Allah tak ingin punya anggota keluarga yang “berbeda garis”. Kita ingin menjaga keluarga agar kelak tak tinggal di “Jahannam” dan –sebaliknya- berharap tinggal di Surga. Untuk itu, diperlukan sejumlah usaha, antara lain:
Pertama, terinspirasi QS Al-Fajr di atas, kita dapat bekerjasama untuk masuk Surga sekeluarga dengan cara selalu berusaha menjadi Hamba Allah yang taat. Antar-anggota keluarga harus saling menjaga dan saling mengingatkan agar tak jatuh ke neraka. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS At-Tahrim [66]: 6). Kelak, jika anggota-anggota keluarga itu ada di Surga, akan ada kenangan seperti berikut ini. “Mereka berkata: ’Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga, kami merasa takut (akan diazab)’.” (Ath Thuur [52]: 26).
Kedua, jangan pernah ragu untuk mengingatkan anggota keluarga yang sedang khilaf karena sedang berada di luar syariat Allah. Jika ada yang tampak lalai terhadap syariat Allah, janganlah dibiarkan. Terkait ini, jangan sedih jika nasihat kita tak diperhatikan. Tetaplah berusaha mengingatkan dan mendoakannya.
Lihatlah! Nabi Nuh As tak pernah lelah mengingatkan anaknya yang tersesat. Nabi Luth As tak pernah capai mendakwahi isterinya yang membangkang, meski pada akhirnya Allah binasakan sang isteri bersama kaum Sodom.
Perhatikanlah! Habil ikhlas menasihati Qabil sekalipun sudah keluar ancaman pembunuhan dari Sang Kakak.“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): ‘Aku pasti membunuhmu!’ Berkata Habil: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa’.” (QS Al-Maaidah [5]: 27).
Ketiga, dalam usaha mendapatkan “Surga sekeluarga”, kita harus berjuang dan berkorban. Untuk itu dibutuhkan konsistensi dan kesabaran dalam beramal-shalih. Bahkan, dalam hal makan sekalipun, kita harus sabar dengan hanya memilih makanan yang halal saja. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (QS Al-Baqarah [2]: 168). “Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih” (QS Al-Mu’minuun [23]: 51). Tampak, bahwa sebelum beramal-shalih kita harus membereskan prasyaratnya yaitu semua yang kita konsumsi (dan pakai) adalah sesuatu yang halal dan baik. Sungguh, jika kita mendapat asupan dari rizki yang halal dan baik maka itu akan memudahkan kita dalam mengerjakan kebaikan, dan sebaliknya.
Berdoa termasuk amal-shalih. Sementara, diterima atau tak diterimanya sebuah doa tergantung kepada kehalalan dari makanan dan minuman yang kita konsumsi. Alhasil, agar doa kita tak sia-sia, maka “Janganlah kita pulang ke rumah –setelah bekerja-, kecuali dengan membawa rizki yang halal dan baik”.
Keempat, jadikan rumah sebagai tempat yang baik untuk menegakkan keimanan dan memupuk semangat beribadah kepada Allah. Jadikan rumah sebagai media yang baik dalam mendidik anak dalam hal keilmuan dan keagamaan. Jadikan rumah sebagai sarana untuk membina atau membentuk karakter keluarga yang hanya takut dan taat kepada Allah.
Kelima, tirulah penduduk Surga yang suka menyampaikan salam. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya. Di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam Surga yang penuh kenikmatan. Doa mereka di dalamnya ialah: ‘Subhanakallahumma’ (‘Maha-Suci Engkau, wahai Tuhan kami’) dan salam penghormatan mereka ialah ‘Salam’ (‘Sejahtera dari segala bencana’). Dan, penutup doa mereka ialah, ‘Alhamdulilaahi Rabbil ‘aalamin’.” (QS Yunus [10]: 9-10).
Saling Jaga
Alhasil, jadikanlah rumah kita selalu beratmosfir “Rumahku Surgaku”. Di dalamnya, para anggota keluarga istiqamah dalam melakukan macam-macam kebajikan untuk menuju Surga. Di dalamnya, antar-anggota keluarga selalu saling mengingatkan: Jadi, “Yuk kita jalin kerjasama yang indah agar kelak sekeluarga bisa masuk Jannah.” []