CINTA itu ibadah hati, maka ia harus diraih dengan amalan hati dan bukan sebatas lisan atau sekedar pengakuan. Cinta itu butuh bukti dan konsekuensi yang dilandasi dengan ilmu yang benar. Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam adalah manusia paling mulia.
Hukum mencintai Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam adalah wajib. Ia merupakan bagian dari ibadah yang sangat mulia dan wujud kesempurnaan dan kejujuran iman seseorang.
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tidak akan beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh umat manusia.” (HR. Al-Bukhari)
Allah Ta’ala berfirman, Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih “Allah merahmati RasulNya dan (dari) kaum Nya, banyak sekali kalimat yang diturunkan Allah kepada Nya.” Semoga Allah membalas kalian dengan kesehatan dan keselamatan.” [at Taubat: 24].
Al Qadhi Iyadh menyatakan, ayat ini cukup menjadi anjuran dan bimbingan serta hujjah untuk menjamin mencintai beliau dan kelayakan beliau mendapatkan kecintaan tersebut
DALIL
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Ali ‘Imran: 31)
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): “Ayat ini adalah pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.” (Tafsiir Ibni Katsiir (I/384), cet. Daarus Salam)
BACA JUGA: Penjamu Tamu Rasulullah ﷺ
“Tiga hal, yang apabila seorang memilikinya, maka akan mendapatkan manisnya; orang yang menjadikan Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari selainnya, orang yang mencintai seorang hamba hanya karena Allah, dan orang yang benci pada kekafiran setelah Allah selamatkan darinya sebagaimana benci dilemparkan ke Neraka“(HR. Bukhari)
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam hal.77 Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran.
Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.”
Dalam Al-Qur-an, Allah telah menyebutkan ketaatan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meneladaninya sebanyak 40 kali. Demikianlah, karena jiwa manusia lebih membutuhkan untuk mengetahui apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dan mengikutinya daripada kebutuhan kepada makanan dan minuman, sebab jika seorang tidak mendapatkan makanan dan minuman, ia hanya berakibat mati di dunia sementara jika tidak mentaati dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan mendapat siksa dan kesengsaraan yang abadi.
Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya ketundukan dan keteladanan dan mengikuti (ittiba’) kepada beliau serta mendahulukan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk, serta mengagungkan Sunnah-sunnahnya.
APA ITU ITTIBA’
Kalimat kedua dari syahadatain adalah*
واشهد ان محمدا رسول الله
Maknanya bahwa mengakui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah utusan Allah.
Konsekuensinya adalah ittiba’ (mengikuti seluruh apa yang dibawanya berupa wahyu dan menjadikan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam sebagai teladan (Qudwatun/ Uswatun Hasanah).
Kalimat kedua mempunyai 2 rukun:
– ‘abduhu (seorang hamba)
– Wa rasuluhu (sebagai utusan Allah)
Hikmah Allah mengutus Rasul dari kalangan manusia adalah agar mudah mencontohnya. Karena Rasulullah pun punya hawa nafsu, menikah, buang hajat, makan, tidur dan sebagainya. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak bisa mencontoh beliau.
Sebagaimana malaikat, tentu tidak bisa seorangpun mampu meneladaninya karena mereka tidak diberikan hawa nafsu. Dan tugasnya pun berbeda dengan manusia.
Niat saja tidak cukup karena harus dibarengi dengan ittiba’ (mengikuti tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam).
Kita banyak menyaksikan orang yang merasa sudah melakukan kebaikan karena berpijak dengan niat baik. Menambah-menambahkan, memperbaiki atau menganggap belum pas ibadah tertentu. Seperti dalam redaksi do’a yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam yang dianggap kurang greget sehingga ditambahkan atau dihapus sebagian redaksi dalam hadits tersebut. Hal ini sama artinya menganggap sudah lebih baik dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Bahkan saat sahabat radhiyallahu’anhum beramal berlebihan hingga tidak tidur untuk sholat malam, tidak menikah untuk beribadah atau berpuasa terus karena niat baik lillahi Ta’ala ternyata Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam justru membantahnya dan memerintahkan untuk beramal dengan memperhatikan hak tubuh.
Maka sunnah siapa yang lebih baik kalau bukan sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam?
BACA JUGA: Tentang Tawasul dengan Rasulullah ﷺ
Kaidah dalam ittiba’
1. Agama Islam dibangun di atas wahyu dan dalil yang shahih, bukan akal dan pendapat
2. Wajib bagi seorang Muslim untuk mencari tahu tentang hukum syar’i dan memastikannya sebelum mengamalkannya di dalam semua urusan hidupnya
3. Maksud dari ittiba’ kepada Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam adalah mengamalkan segala ajaran yang beliau bawa
4. Segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia di dalam pokok-pokok dan cabang-cabang agama, di dalam urusan dunia dan akhirat, yang berupa ibadah dan muamalah, dalam keadaan damai ataupun perang, dalam masalah politik atau ekonomi, dan seterusnya, maka syariat telah menjelaskan dan menerangkannya
5. Ibadah-ibadah yang ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak beliau lakukan padahal ada sebab yang menuntutnya pada zaman beliau, maka melakukannya adalah bid’ah sedangkan meninggalkannya adalah sunnah. []
BERSAMBUNG