Mubhamat dalam Kehidupan Khidir
KITA tidak pernah mengetahui sedikit pun tentang siapakah Khidir. Al-Quran tidak pernah menceritakan tentang Khidir, kecuali kisah perjalanannya bersama Nabi Musa dalam Surah Al-Kahfi.
Sementara itu, hadis sahih tidak menambah penjelasan Al-Quran, kecuali sedikit saja tentang perjalanannya bersama Nabi Musa. Adapun perincian tentang kehidupan, keturunan, pekerjaan sebelum dan sesudah perjalanannya, satu pun tidak disebutkan dalam sumber yang sahih.
Kita tidak mengetahui sedikit pun asal keturunannya pada masa kecil dan remajanya. Kita tidak mengetahui kaum yang hidup bersama Khidir. Begitu pun asalnya, apakah dari Bani Israil atau selainnya, dan tempat dia menetap pun tidak diketahui.
Apa yang terjadi pada Khidir setelah berjalan bersama Nabi Musa? Kita tidak mengetahui sedikit pun tentang ini. Hanya Allah saja yang mengetahui ke mana dia pergi dan menetap setelah berpisah dengan Nabi Musa serta beberapa lama dia hidup sesudahnya, termasuk juga bagaimana dia wafat dan di mana dia dikuburkan.
Semua pertanyaan tersebut tidak ada jawaban untuk kita karena tidak disebutkan dalam sumber yang benar dan dipercaya.
BACA JUGA: Doa Nabi Khidir Kala Menghadapi Ujian dan Cobaan
Memang benar bahwa ahli cerita membicarakan masalah ini dan berusaha untuk menjelaskannya, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Di sisi lain, kita bersikap tawaquf terhadap ucapan mereka serta meragukan pendapat mereka dan tidak menceritakan apa yang mereka katakan karena pendapat tersebut mengambil dari sumber yang tidak jelas, khususnya riwayat israiliyat, yaitu berita dan cerita bohong yang diambil dari Bani Israil.
Bagi kita, cukup dengan apa yang disebutkan dalam Al-Quran dan hadis sahih serta tidak berusaha untuk menjelaskan tentang kesabaran itu.
Pendapat Terkuat Bahwa Khidir adalah Seorang Nabi
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan apakah Khidir seorang nabi atau wali? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa dia adalah nabi, bukan wali. Sebagian yang lain mengatakan bahwa dia adalah wali, bukan sufi, karena wali lebih utama daripada nabi, seperti ucapan salah seorang dari mereka bahwa kenabian berada di tempat yang tinggi, melebihi Rasul, dan di bawah wali.
Berdasarkan pendapat ini, kedudukan wali adalah yang paling tinggi, lalu di bawahnya adalah Nabi, sedangkan Rasul berada di paling bawah. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan.
Adapun mayoritas ulama dari kalangan Ahli Tafsir (mufassir), ahli ushul, ahli hadis, dan ahli sejarah mereka berpendapat bahwa Khidir adalah nabi. Mereka mengatakan bahwa memang tidak ada hadis yang menunjukkan dan menerangkan kenabian Khidir. Namun, kisahnya bersama Nabi Musa dalam Al-Quran menyiratkan bahwa dia adalah seorang nabi.
Bukti Kenabian Khidir
Bukti kenabian Khidir yang diambil dari kisah itu adalah sebagai berikut:
Pertama, firman Allah dalam Surah Al-Kahfi (18) ayat 65:
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اٰتَيْنٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنٰهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا
“Mereka bertemu dengan seorang dari hamba-hamba Kami yang telah Kami anugerahkan rahmat kepadanya dari sisi Kami.” Rahmat ini adalah rahmat kenabian yang Allah berikan kepadanya. Khidir juga menegaskan rahmat kenabian yang diberikan Allah kepadanya ketika mengatakan kepada Nabi Musa, dalam menjelaskan peristiwa yang dilihatnya, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Ini berarti bahwa tiga perbuatan yang aku lakukan adalah sebagai rahmat dari Tuhanmu.
Kedua, firman Allah dalam Surah Al-Kahfi (18) ayat 65, “kami telah mengajarkan ilmu kepadanya dari sisi kami. Allah telah memberikan ilmu tentang sebagian hal dan memberitahukan rahasia sebagian peristiwa kepada Khidir.
BACA JUGA: Teladan dari Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir: 2 Adab Mencari Ilmu dalam QS Al Kahfi
Ilmu ladunni (Ilmu dari sisi Allah) dalam ayat ini adalah kenabian dan bukan sebagaimana yang dipahami sebagian sufi, yaitu ilmu kebatinan melalui jalan ilham.
Ketiga, perkataan Nabi Musa kepada Khidir, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Kahfi (18) ayat 66, yaitu “bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) dari hal yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”
Kalau Khidir bukanlah nabi, lalu mengapa Nabi Musa memohon untuk belajar dengannya, berbicara dengan cara seperti itu, mengatakan harapan kepadanya, dan mengabulkan permohonannya, serta terjadi percakapan di antara keduanya. Percakapan tersebut adalah kalimat “bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) dari hal yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”
Dia menjawab, “Sesungguhnya, engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku Bagaimana engkau akan sanggup bersabar atas sesuatu yang belum cukup pengetahuan tentangnya? Dia (Musa) insya Allah engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.”
Dia berkata, “Jika mengikutiku, janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang apa pun sampai aku menerangkannya kepadamu. Kemudian, berjalanlah keduanya.”
Keempat, jika bukan nabi berarti dia tidak maksum dan tidak terpelihara dari kesalahan. Dengan kata lain, dia melakukan kesalahan dalam sebagian perbuatannya. Bagaimana mungkin seorang nabi yang maksum (Nabi Musa) akan mengikutinya dan belajar kepadanya?
Jika dia (Khidir) melakukan kesalahan pada pekerjaan tertentu, bagaimana mungkin seorang nabi yang maksum akan mengikutinya? Dengan demikian—karena Nabi Musa belajar, mengikuti, dan menaatinya—ini merupakan bukti atas terpeliharanya Khidir dalam segala perbuatan karena sifat ‘ishmah (terjaga) hanya didimiliki para nabi.
Kelima, keberanian Khidir untuk membunuh seseorang pemuda (anak laki-laki) menunjukkan kenabiannya. Membunuh itu dilarang, kecuali dengan haq. Jika bukan nabi, bagaimana dia (Khidir) dapat mengetahui bahwa pemuda itu kafir. Bahkan, Nabi Musa saja yang jelas-jelas adalah seorang nabi, tidak mengetahui hal itu.
Kemudian, Khidir menjelaskan kepada Nabi Musa bahwa pemuda itu kafir. Ini semua menunjukkan bahwa Allah telah memberitahukan kepadanya tentang pemuda kafir itu dan memerintahkan untuk membunuhnya.
Keenam, ucapan Khidir kepada Nabi Musa setelah menerangkan semua perbuatan yang telah dilakukan, aku tidak melakukannya berdasarkan kemauanku (sendiri) atau aku tidak melakukan pekerjaan ini atas kemauan pribadiku, tetapi sesungguhnya Allah yang memerintahkanku untuk melakukan hal ini. Ini adalah perintah ketuhanan melalui jalan wahyu.
Ketujuh, Allah mencela Nabi Musa ketika berkata aku lebih mengetahui. Kemudian, Allah berfirman kepada Nabi Musa, dalam Surah Al-Kahfi (18) ayat 82, “Sesungguhnya salah seorang hamba-Ku yang (ada) pada pertemuan di antara dua laut lebih mengetahui daripadamu”. Khidir lebih mengetahui daripada Nabi Musa tentang masalah. Tidak mungkin seseorang wali lebih mengetahui daripada nabi.
BACA JUGA: Apakah Nabi Khidir Masih Hidup atau Sudah Meninggal?
Kedelapan, perkataan Khidir kepada Nabi Musa, yakni engkau mempunyai ilmu yang Allah ajarkan kepadamu yang tidak aku ketahui. Aku pun mempunyai ilmu yang Allah ajarkan kepadaku yang tidak engkau ketahui.
Menolak Kenabian Khidir Bukan Perbuatan Kufur
Jika memerhatikan bukti yang dikemukakan mayoritas ulama tentang kenabian Khidir, kita akan menemukan bahwa semua itu merupakan hasil ijtihad dan bukan nash. Ini berarti bahwa Al-Quran tidak menegaskan kenabiannya dan tidak pula menashkannya.
Namun, ini bukan berarti bahwa bukti tersebut tidak sahih. Hanya saja, Al-Quran menjelaskan hal itu secara implisit. Karena bukti kenabiannya merupakan dugaan yang dapat melalui ijtihad, kenabiannya tidak disepakati seluruh ulama. Sebaliknya, hal itu merupakan hasil ijtihad. Selama hal itu belum disepakati dan merupakan dugaan saja, orang yang memungkiri kenabian Khidir tidaklah disebut kufur. Dia hanya berbeda pendapat dengan para ulama dan bisa saja pendapatnya yang benar.
Sebaliknya, siapa yang mengingkari kenabian seorang nabi yang sudah dinashkan Al-Quran atau hadis, dia berarti kufur. Ini sama halnya dengan orang yang mengingkari kenabian Nabi Ilyas, Nabi Yunus, atau Nabi Sulaiman.[]
SUMBER: PUSAT STUDI QURAN