PARA ahli sejarah menyebutkan cerita yang detail tentang Saba (kaum Saba) dan permulaan kerajaan mereka, rincian nikmat yang diberikan kepada mereka, serta permulaan kehancuran mereka dan apa yang terjadi setelah itu.
Kita akan mengutip detail tersebut, bukan untuk menerimanya, melainkan untuk pengetahuan dan mengajak pembaca pada tawaquf, sebagaimana kita tidak menerima atau menolaknya. Oleh karena itu, janganlah menceritakan dan berdalil dengannya sebagaimana kita tidak mengutip atau menolaknya.
Tawaquf dalam hal ini adalah paling baik dan paling disepakati, dengan tetap mencari tahu dan menelitinya, karena tidak adanya sarana-sarana ilmiah yang meyakinkan dan menguatkan kita dalam membedakan antara yang baik dan yang buruk dari rincian tersebut serta membedakan antara kebenaran dan kebohongan.
Cerita-cerita tersebut tidak mengandung faedah-faedah ilmiah, tidak menyebabkan kita menjadi bodoh, serta tidak merusak kita sedikit pun ketika mengambil sikap ber-tawaquf.
BACA JUGA: Kisah Ratu Saba dalam Al-Quran
Para ahli sejarah berpendapat bahwa Saba adalah kaum yang pertama kali memerintah Yaman dan namanya (nama rajanya) adalah Abdu Syamsin bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Dinamakan Saba karena dia adalah raja pertama dari Arab yang menawan musuh-musuhnya.
Saba berarti menawan atau menangkap. Namun, ada juga yang menyebutnya Ra’isy karena telah mempersembahkan bagi kaumnya harta yang dirampasnya dari perang. Orang Arab menyebut harta rampasan perang itu riisyan atau riyasyan. Mereka mengatakan bahwa Saba mempunyai sebaik-baik karunia.
Allah menganugerahkan kaum Saba segala sesuatu sebagaimana diwahyukan dalam ayat- ayat tersebut. Mereka mendirikan peradaban yang maju dan dapat menguasai air lembah di antara dua gunung. Kemudian, mereka membangun penghalang di Kota Ma’rib yang disebut Bendungan Ma’rib. Bendungan ini berada di antara dua gunung tersebut.
Mereka menguasai air-air bendungan untuk tanah-tanah mereka dan menyirami kebun-kebun mereka. Mereka membangun taman-taman dan kebun-kebun lalu menanaminya dengan pepohonan dan memetik hasilnya.
Diceritakan bahwa, dahulu, Saba memiliki dua buah kebun di antara dua gunung. Pada suatu hari, ada seorang perempuan yang melintas di tengah-tengah kebun itu. Dia membawa keranjang di atas kepalanya.
Kemudian, dia mengisinya dengan buah-buahan yang berjatuhan tanpa ada seorang pun yang memungutnya karena banyaknya. Disebutkan bahwa di negeri Saba tidak ada lalat, nyamuk, atau kutu anjing. Selain itu, tidak ada pula padang tandus karena cuaca dan kodisinya yang baik serta karena pertolongan dari Allah agar mereka beribadah kepada-Nya dan meng-Esa-kan-Nya. Di antara raja-raja mereka (kaum Saba) adalah Ratu Balqis (Bilqis) yang memiliki kisah dengan Nabi Sulaiman lalu berakhir dengan keislamannya sebagaimana tersirat dalam Surah An-Naml.
Setelah Ratu Balqis tiada, penduduk Saba menyekutukan Allah serta bersikap sombong, durhaka, dan melampaui batas. Oleh karena itu, berlakulah bagi mereka sunatullah (ketetapan Allah). Allah membinasakan mereka dengan azab-Nya.
Allah menghancurkan Bendungan Ma’rib dan mengirimkan mereka banjir besar hingga membinasakan mereka. Al-Quran menyebutnya sailul ‘arim (banjir besar). Banjir itu menenggelamkan kebun-kebun dan taman-taman serta membinasakan pohon-pohon dan buah-buahan. Dengan itu, Allah menghapus segala nikmat atas mereka disebabkan hal yang telah mereka perbuat.
BACA JUGA: Kisah Nabi Sulaiman dan Semut yang Berdoa Meminta Hujan pada Allah
Para ahli sejarah menyebutkan secara rinci awal mula kehancuran bendungan dan banjir besar yang membinasakan itu. Secara ringkas disebutkan mereka telah mengetahui—seperti yang diberitakan ahli tenung—bahwa sebab hancurnya bendungan itu adalah tikus-tikus besar sehingga mereka menempatkan seekor kucing di setiap tempat dari bendungan itu untuk menjaganya.
Namun, ketika kekuasaan Allah berlaku atas mereka, tikus-tikus mendatangi bendungan lalu mengalahkan dan membinasakan kucing-kucing itu. Hal tersebut disaksikan salah seorang pembesar mereka, yakni Amru bin Amir, sehingga dia yakin akan dekatnya kehancuran.
Dia memikirkan cara untuk mengambil tanah dan kerajaannya. Dia memanggil keponakannya dan berkata kepadanya, “Kalau aku duduk di lembah-lembah kaumku, datanglah kepadaku dan katakan, ‘Mengapa engkau menyembunyi kan hartaku?’ Aku akan mengatakan kepadamu, ‘Aku tidak memiliki hartamu, sedangkan ayahmu tidak meninggalkan sesuatu pun kepadamu’. Engkau pasti telah berbohong Jika aku berbohong kepadamu, bohongilah aku dan balaslah aku seperti apa yang aku katakan kepadamu. Jika engkau mengerjakannya, aku akan mencaci makimu lalu engkau akan mencaci makiku. Jika engkau mencaci makiku, aku akan menamparmu lalu bangunlah dan tamparlah aku.’”
Pemuda itu berkata kepada pamannya, “Apakah aku harus mengabulkannya, Paman?” Pamannya menjawab, “Ya, lakukanlah. Dengan itu, aku ingin memperbaikimu dan keluargaku.” Pemuda itu berkata, “Baiklah”. Kemudian, pemuda itu datang dan berkata sebagaimana diperintahkan pamannya sampai dia menampar pamannya itu.
Selanjutnya, pembesar itu (sang paman) berkata, “Wahai anak Fulan, tampar-menamparlah di antara kalian. Aku tidak akan hidup lagi selamanya di suatu negeri yang aku ditampari seseorang. Siapakah yang mau membeli rumah, tanah, dan seluruh perabotan rumah tanggaku?” Ketika mengetahui hal tersebut, mereka (kaumnya) berebut untuk membeli semua yang pembesar itu miliki.
Ketika harta itu telah dia miliki, dia pun menyiapkan diri dan keluarganya untuk pergi dan melakukan perjalanan. Kemudian, dia memanggil kaumnya dan berkata kepada mereka, “Wahai kaumku, sesungguhnya azab telah menyelimuti kalian dan kehancuran kalian sudah dekat. Oleh karena itu, barang siapa di antara kalian menginginkan tempat baru, unta berjalan kencang, dan pindah maka pergilah ke Oman. Barang siapa di antara kalian menginginkan khamr, roti, dan perasan buah-buahan maka datangilah Bushra. Barang siapa di antara kalian menginginkan berdiri di lumpur, makanan di tempat, dan berdiri di kolam yang dangkal airnya maka datangilah Yatsrib yang ada pohon kurmanya.”
Kaumnya benar-benar menaati perintah dari pembesar tersebut lalu mereka berpencar-pencar. Kemudian, pergilah (orang-orang) Azad ke Oman dan orang-orang Ghussan ke Bushra. Sementara itu, (suku) Auz, Khazraj, dan Bani Ka’ab bin Amru pergi ke Yatsrib (Madinah).
Ketika mereka berada di tengah-tengah pohon kurma, sebelum sampai di Madinah, Bani Ka’ab berkata, “Ini tempat yang bagus. Kita tidak ingin menggantinya.” Akhirnya, mereka pun menetap di sana. Oleh karena itu, mereka disebut Khuza’ ah, yakni karena mereka terpecah-belah atau terpencar dari kaumnya.
BACA JUGA: Kisah Negeri Saba yang Pernah Dimakmurkan Allah
Selanjutnya, sampailah (suku) Auz dan Khazraj di Yatsrib. Tentang musibah (azab) yang terjadi pada kaum Saba, seorang penyair buta (Maimun bin Qais) berkata:
Padanya, teladan bagi mereka yang dimurkai
Mereka dilanda banjir Arim yang besar
Batu pualam dibangun Himyar
Jika datang airnya, tidak akan bisa dicegah
Akan disirami tanaman dan anggur-anggurnya
Karena banyaknya airnya saat dibagi
Jadilah tangan-tangan mereka tidak kuasa
Untuk meminumkan anak-anak jika telah disapih.
Demikianlah rincian dari kisah Saba, kehancuran bendungan, dan perpindahan kaumnya. Kami menyampaikannya bukan untuk dijadikan sandaran dan diterima. Kami tetap bersikap tawaquf (tidak menerima atau menolak). Kami tidak memberi opini sedikit pun dan tidak meniadakan atau menetapkannya. Kami menginginkan pembaca bersikap tawaquf juga sehingga tidak perlu menerimanya atau menolaknya.[]
SUMBER: PUSAT STUDI QURAN