ALHAMDULILLAH di hari kedua ini puasa masih berjalan lancar. Sahur tak terlewat, berbuka tanpa rasa kalap, tarawih jelang tengah malam pun bisa dikerjakan dengan cukup khusyuk meski ada rasa kantuk.
Seperti beberapa tahun terakhir, puasa tahun ini masih jatuh di puncak musim panas. Musim ketika matahari begitu betah bertengger sehingga hari tetap terang meski lewat tengah malam.
Kemarin kami mengawali puasa jam 03:49, dan berbuka jam 22:38. Sedikit lebih singkat dibanding tahun lalu.
Tapi satu keistimewaan negeri empat musim, terlebih yang dekat dengan kutub utara seperti negara-negara Skandinavia. Peredaran matahari bisa begitu singkat (di musim dingin), atau sebaliknya sangat panjang (di musim panas).
Bila di awal Ramadan kami berpuasa sekitar 18,5 jam, maka menjelang akhir nanti kami dapat bonus hingga harus berpuasa selama 19,5 jam. Hal ini karena di akhir Ramadan akan terjadi fenomena “Summer Solstice” pada tanggal 21 Juni, yakni hari terpanjang dalam setahun. Di saat itu, bisa dipastikan matahari tak akan benar-benar tenggelam. Kami hanya akan merasakan gelapnya malam kurang dari satu jam saja.
Ala kulli hal!
Maha Besar Allah yang mengatur pergantian siang dan malam dengan begitu luar biasa, dan menjelaskannya secara gamblang dalam banyak ayat dan surat dalam Alquran.
Kalau sekadar dibayangkan, sepertinya berat sekali, ya, puasa yang kami jalani ini?
Untungnya semua cuma ada dalam bayangan. Ketika sudah dijalani, alhamdulillah kami masih diberi kekuatan dan semangat menaati perintah Allah ini.
Meski durasi puasa sangat panjang, tapi kami diberkahi dengan temperatur yang cukup bersahabat; dalam kisaran 10-20 Celcius. In syaa Allah tidak sampai kegerahan atau dehidrasi dengan aktivitas yang terukur dan persiapan sahur yang mumpuni.
Di sini kami merasa lebih beruntung dibandingkan saudara-saudara muslim di Mekkah atau negeri Timur Tengah yang harus bertahan puasa di bawah suhu 40 Celcius atau bahkan lebih.
Perjuangan kita sama, hanya bentuk dan kadarnya yang berbeda.
Ramadan di musim panas juga bukan halangan untuk melatih anak-anak berpuasa. Tahun ini adalah kali ketiga Fatih berpuasa – in syaa Allah – secara penuh dari subuh sampai maghrib. “Penuh” di sini maksudnya dia berpuasa mengikuti durasi Indonesia (sekitar 14 jam).
Tak mungkin kami memaksa anak yang belum baligh ini untuk mengikuti puasa ala orang dewasa yang cukup ekstrem. Semua ada waktunya. Melihat dia tetap semangat dan ceria bangun sahur dan berpuasa tanpa banyak mengeluh adalah hal yang sangat patut kami syukuri.
Satu hal yang dia keluhkan adalah godaan khas di musim panas.
Kemarin cuaca cerah, suhunya 20 Celcius. Cuaca yang sudah cukup membuat masyarakat Haugesund ramai-ramai piknik di taman atau nongkrong di kafe sambil makan es krim atau barbeque. Aromanya jangan ditanya.
Suhu yang cukup panas menurut ukuran orang lokal ini juga membuat banyak lelaki dewasa keluar bertelanjang dada. Kaum wanitanya bercelana pendek, rok mini, tank top, atau bahkan bikini.
Fatih berkomentar, “Bunda, kayaknya aku harus pakai blind folds [penutup mata] biar puasaku nggak terganggu.”
Ramadan adalah juga pengingat pentingnya ghadhul bashshar (menundukkan pandangan). Alhamdulillah Fatih semakin sadar akan hal ini. Semoga dia tetap mengingatnya di sekolah atau di mana saja.
Ramadan bagi kaum minoritas, terlebih anak sekolah, adalah perjuangan tersendiri. Selain menanamkan pemahaman tentang istiqomah berpuasa di tengah mayoritas yang tidak berpuasa, yang tak kalah penting adalah komunikasi orangtua dengan guru bahwa anak kita akan berpuasa selama jam sekolah.
Tahun ini tantangan Fatih lebih berat, karena libur sekolah baru mulai ketika Ramadan akan berakhir. Jadi dia tetap harus beraktivitas seperti biasa tanpa ada dispensasi karena berpuasa.
Tahun-tahun sebelumnya alhamdulillah berjalan baik. Gurunya pun sangat memahami dan menghormati ajaran agama kami ini. Tentunya saya juga menjelaskan bahwa puasa bagi Fatih adalah latihan dan belum jadi kewajiban.
Jadi bila dia tidak kuat karena aktivitas yang berat di sekolah, maka dia boleh minum, lalu melanjutkan lagi puasanya.
Orang nonmuslim harus mendapat pemahaman bahwa Islam itu meski tegas tapi welas asih, terutama pada anak-anak dan kaum yang lemah.
Ini bentuk dakwah kami sebagai muslim di tengah masyarakat nonmuslim.
Islam yang berwajah simpatik dan ramah. Itu yang selalu kami pertahankan sebagai imbalan toleransi tinggi yang ditunjukkan masyarakat Norwegia pada kami selama ini.
Inti dari cerita saya ini adalah, agama itu perjuangan dan bukan sekadar identitas yang melekat karena keturunan dan “terima jadi”.
Kita yang terlahir muslim tak boleh merasa puas dan santai karena agama yang kita yakini kebenarannya ini sudah menjanjikan surga bagi para pemeluknya.
Janji Allah selalu benar, tapi tak ada jaminan kita sebagai pewaris agama-Nya ini akan selamat dari panasnya api neraka. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Agama harus diperjuangkan. Kesalehan dan keimanan harus terus dipupuk dan ditingkatkan.
Perjuangan itu semakin terasa nyata ketika Islam menjadi agama yang terasing dan tidak mendapat prioritas atau keistimewaan seperti halnya bila Islam adalah mayoritas.
Selamat melanjutkan ibadah puasa bagi saudara-saudara saya kaum muslim di manapun kalian berada.
Semoga kelak kita bisa lulus di akhir Ramadan sebagai hamba Allah yang meningkat iman dan taqwanya. []