SUJUD syukur bukanlah shalat, karena syariat tidak pernah menyebutnya sebagai shalat, dan karena sujud syukur tidak satu rakaat atau dua rakaat, dan karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyuruh untuk takbir, salam, berbaris dalam shaf dan mengajukan imam, seperti yang ditentukan ketika shalat jenazah dan sujud sahwi setelah salam dan semua shalat. Maka tidak disyaratkan pada sujud syukur apa yang disyaratkan dalam shalat.
Qiyas sujud saja terhadap seluruh dzikir yang dikerjakan dalam shalat dan disyariatkan di luar shalat seperti membaca Al-Qur’an -yang merupakan bagian dan ucapan-ucapan shalat yang paling utama, tasbih, tahmid, takbir dan tahlil. Ucapan-ucapan ini tidak disyaratkan bersuci jika dikerjakan di luar shalat, padahal semuanya adalah bagian dari shalat, begitu pula sujud saja.
Ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah mengatakan, “Pendapat yang benar adalah sujud syukur dan sujud tilawah yang diperuntukkan bagi yang membaca dan yang mendengar tidak disyaratkan bersuci, karena keduanya bukan dalam hukum shalat.” Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdurrazaq Afifi dan Syaikh Abdullah Qu’ud (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 7/263).
BACA JUGA: Apa Itu Sujud Syukur?
Pendapat yang kuat mengenai tata cara sujud syukur adalah ia tidak wajib takbir pada bagian awalnya atau akhirnya, tasyahud, atau salam. Inilah yang dinyatakan oleh Imam As-Syafi’i. Ini pulalah yang menjadi pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat dari beliau.
Begitu pula salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i. Karena memang tidak ada ketetapan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau dari salah satu sahabat beliau.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berpendapat bahwasanya tidak disyariatkan tasyahud atau salam dalam sujud syukur, bahkan bid’ah yang tidak boleh dilakukan (jika sujud ada tasyahud dan salamnya).
Syaikhul Islam Rahimahullah mengatakan, “Sedangkan sujud tilawah dan sujud syukur tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam begitu pula dari para sahabat beliau bahwa di dalam sujud ada salamnya. Mereka juga tidak melakukan salam ketika sujud. Oleh sebab itulah Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya tidak mengetahui di dalam sujud tersebut ada salam. Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya tidak ada salam di dalam sujud, karena tidak adanya Atsar mengenai hal itu. Dalam riwayat lainnya, salam satu kali atau dua kali, namun hal itu tidak ada nash-nya, akan tetapi ditetapkan dengan Qiyas. Begitu pula para fuqaha yang memandang di dalam sujud tersebut ada salamnya tidak memiliki nash, akan tetapi Qiyas atau perkataan sebagian tabi’in.” (Majmu’ul Fatawa, 21/277).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata tentang sujud tilawah dan sujud syukur, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menamakan sujud itu dengan shalat, dan tidak disyariatkan membuat barisan untuk sujud, imam maju di depan, sebagaimana disyariatkan dalam shalat jenazah, dua sujud sahwi dua kali setelah salam dan seluruh shalat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menentukann salam di dalamnya. Hal itu tidak pernah diriwayatkan dari beliau, baik dengan isnad yang shahih atau dha’if, akan tetapi bid’ah. Dan tidak dijadikan takbir pembuka pula untuk sujur tersebut.” (Majmu’ul Fatawa, 23/171).
Tidak wajib ada dzikir tertentu di dalam sujud ini, akan tetapi orang yang sujud disyariatkan untuk mengucapkan dalam sujudnya ucapan yang sesuai dengan kedudukannya, seperti tahmid, syukur, doa, istighfar dan semisalnya.
As-Syaukani Rahimahullah mengatakan, “Jika Anda berkata, ‘Tidak disebutkan hadits-hadits yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang sujud syukur. Lalu, apakah yang diucapkan oleh orang yang sujud syukur?’ Maka saya jawab, ‘Sudah semestinya ia memperbanyak syukur kepada Allah Azza wa Jalla, karena sujudnya adalah sujud syukur.” (As-Sailul Jarrar, 1/286).
Seseorang tidak boleh bersujud syukur ketika diberitahu kabar yang membahagiakannya saat ia sedang shalat. Karena penyebab sujud pada kondisi ini bukanlah termasuk shalat dan tidak terkait dengan shalat. Jika ia sengaja bersujud, batallah shalatnya, seperti halnya jika ia sengaja menambah sujud pada shalat, atau sujud sahwi untuk kelupaan dalam shalat lain, sepeti juga jika seandainya ia shalat yang lain dalam suatu shalat. Penapat ini adalah pendapat madzhab Syafi’i, dan dianut pula oleh kebanyakan madzhab Hambali.
Sebagian madzhab Hambali mengatakan, “Sesungguhnya disunahkan sujud syukur dalam kondisi seperti ini, diqiyaskan pada sujud tilawah.
Dalil mereka ini bisa dibantah bahwasanya Qiyas yang mereka sebutkan itu tidaklah benar, karena Qiyas Ma’al Fariq (Qiyas yang tidak benar perbandingannya karena tidak sama). Sesungguhnya sujud tilawah penyebabnya termasuk perbuatan shalat, yaitu membaca ayat Sajdah. Sedangka sujud syukur penyebabnya berada di luar shalat.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang bersujud syukur dalam shalat dan mengetahui hukumnya serta mengingatnya (tidak lupa), maka shalatnya batal. Apa yang disebutkan oleh penulis itu benar. Maksudnya, shalat akan batal jika melakukan sujud syukur di dalamnya, karena tidak ada hubungan sujud syukur dengan shalat. Berbeda dengan sujud tilawah, karena sujud tilawah disebabkan oleh masalah yang berhubungan dengan shalat, yaitu membaca ayat Sajdah.” (Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, 4/107-108).
BACA JUGA: Tata Cara Sujud Syukur
Sujud syukur disyariatkan bagi orang yang naik kendaraan dengan cara isyarat sesuai dengan kemampuannya.
Boleh mengqadha (mengganti) sujud syukur apabila tidak bisa melaksanakan pada waktunya.
Apabila manusia diberi kabar yang membahagiakannya, atau mendapatkan nikmat, namun tidak sujud sukur, ia juga tidak memiliki halangan (udzur) untuk meninggalkan sujud ketika terjadi penyebabnya, maka sebagian ulama menyebutkan bahwa tidak disyariatkan untuk mengganti sujud syukur ini setelah itu, hal itu karena ia tidak berhalangan untuk menunda sujud syukur ini. Lihat Hasyiyah Qalyubi, 1/209.”
Dikutip secara ringkas dan sistematis dengan sedikit tambahan dari Bahts (kajian tertulis) berjudul Sujudus Syukri wa Ahkamuhu fil Fiqhil Islami (Sujud Syukur dan hukum-hukumnya dalam Fikih Islam). Penulis : Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin Ghafarahullah Ta’ala yang dipublikasikan dalam Majalatul Buhuts Al-Islamiyyah, 36/267-309.
Wallahu A’lam. []
HABIS | SUMBER: ISLAMQA