PAGI ini, jalan kaki start dari rumah menuju Jatiluhur. Perkiraan waktu tempuh, tiga setengah jam. Kembali lagi melangkahkan kaki, setelah sebulan jeda. Matahari pagi singgah di antara dedaunan, motor dan mobil yang berslieweran, dan tanah aspal dan merah, rerumputan. Di bawah jalan layang kereta cepat, seekor kucing putih terbujur kaku.
Saya sentuh, ia tidak bergerak. Binatang menakjubkan ini sudah mati. Sepertinya baru saja mati. Tubuhnya masih hangat. Saya beberapa kali mengucapkan shalawat.
Saya keruk tanah bawah jalan tol yang keras bercampur batu kerikil. Saya bawa tubuhnya dan kemudian menimbunnya. Tidak cukup dalam, tapi mudah-mudahan cukup menyembunyikan jasadnya. Wajahnya, saya lihat terakhir kali, begitu tenang.
Satu kilo kemudian, saya kembali menemukan seekor kucing lagi, sama terbujur kaku, pinggir jalan dekat Indosat. Darah di sekitar kepalanya berceceran namun mulai kering. Ketika saya sentuh, tubuhnya sudah dingin.
Ia tampaknya tertabrak oleh kendaraan. Tanpa menunggu lama lagi, saya segera mengubur kucing itu, sebagian besar menggunakan rumput dan daun kelapa yang masih basah, karena tak ada tanah di situ.
BACA JUGA:Â Blok Blok Blok
Saya kembali melanjutkan perjalanan. Tanpa mau berpikir, kenapa saya harus melihat dua jenazah kucing itu.
Bisa saja, saya ataupun siapapun itu, saat melihat mereka, terus saja saja jalan; dengan berharap ada orang lain mengurus pemakamannya, atau hilang karena hujan, angin, dan waktu yang terus berjalan. Seperti hidup itu sendiri; yang akan hilang seiring menipisnya usia. []