TANYA: Imam masjid yang saya shalat di sana, salah dalam membaca Al Fatihah, ia membaca fathah yang seharusnya dhommah, dan kasrah yang seharusnya dhommah, hal ini akan mengubah arti ayatnya, lalu apakah tetap sah shalat di belakangnya?
Jawab: Barang siapa yang menjadi imam atau makmum salah dalam membaca surat Al Fatihah yang akan mengubah makna ayatnya, maka shalatnya batal; karena surat Al Fatihah ini salah satu rukun dalam shalat, dan diwajibkan baginya untuk membenarkan bacaannya, dan belajar membaca Al Fatihah yang benar; kecuali ia tidak mampu belajar, setelah berusaha, maka Allah tidak membebani setiap jiwa kecuali apa yang ia mampu lakukan, akan tetapi jika ia adalah seorang imam maka tidak boleh shalat di belakangnya kecuali orang yang setara dengan dia atau mereka yang di bawahnya dalam mengucapkan Al Fatihah.
BACA JUGA: Hukum Memakai Peci saat Shalat dan di Luar Shalat
An Nawawi –rahimahullah- berkata:
“Dan makruh imamahnya orang yang salah dalam membaca, kemudian ia melihat: jika salah ucap yang tidak merubah makna, seperti; ha’ nya al hamdulillah dibaca dhommah, maka shalatnya dan shalatnya orang yang menjadi makmumnya tetap sah. Dan jika akan merubah makna, seperti dhommahnya huruf ta’ di dalam أنعمت عليهم atau dibaca kasrah, maka shalatnya batal, sebagaimana firman-Nya: الصراط المستقين ; (pake huruf nun) maka jika lidahnya yang memaksanya dan memungkinkan baginya untuk belajar, maka ia wajib belajar. Dan jika ia teledor, dan waktunya sempit, maka ia tetap shalat dan mengqadha’, dan tidak boleh diikuti.
Dan jika lidahnya tidak terbiasa, atau belum berlalu apa yang memungkin baginya untuk belajar, jika dalam surat Al Fatihah maka shalatnya orang menjadi makmum di belakangnya yang serupa dengannya tetap sah, dan shalatnya orang yang dibelakangnya dalam kondisi lidahnya baik, seperti shalatnya orang yang bisa baca di belakang orang yang ummi (buta huruf); maksudnya tidak sah, dan jika di luar Al Fatihah maka shalatnya dia dan makmumnya tetap sah”. Selesai. (Raudhatu At Thalibin: 1/350)
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
“Dan jika ada ada seorang ummi (buta huruf) menjadi imam bagi ummi dan orang yang bisa baca, maka orang yang bisa baca ini mengulangi sendirian. Seorang ummi yang tidak bisa baca Al Fatihah atau sebagiannya, atau cacat baca sebagian hurufnya, meskipun ia bagus baca ayat lainnya, maka tidak boleh bagi orang yang bagus bacaannya untuk menjadi makmumnya, dan tetap sah orang yang setara dengannya menjadi makmumnya”.
Lalu beliau berkata:
“Barang siapa yang meninggalkan satu huruf dari huruf-huruf Al Fatihah, karena kelemahannya (membaca) atau terganti dengan huruf lain, seperti orang cedal yang menjadikan huruf ra’ dibaca ghain, dan orang cedal yang memasukkan satu huruf ke huruf lainnya, atau salah ucap yang merubah arti, seperti orang yang membaca kasrah pada kata iyyaka, atau membaca dhomah pada kalimat An’amta, dan tidak mampu untuk memperbaikinya, maka ia seperti orang ummi, tidak sah seorang qari’ menjadi makmumnya. Dan boleh bagi masing-masing mereka untuk menjadi imam bagi yang setara dengan mereka, karena keduanya dianggap ummi, maka salah satu dari keduanya boleh menjadi makmum bagi yang lainnya. Seperti dua orang yang tidak bisa apa-apa. Dan jika ia mampu untuk memperbaiki sebagian dari hal di atas namun ia tidak melakukannya, maka shalatnya tidak sah, dan juga shalatnya orang yang menjadi makmumnya”.
Beliau juga berkata:
“Makruh orang yang salah ucap menjadi imam, yang tidak sampai merubah arti, menjadi pendapat Ahmad secara tekstual. Dan menjadi sah shalatnya orang yang tidak salah ucap; karena ia telah membaca kewajiban membaca (dengan benar), dan jika sampai merubah arti pada selain Al Fatihah, maka tidak ada yang menghalangi sahnya shalat, juga menjadi makmumnya, kecuali ia bersengaja, maka shalatnya batal…
Dan adapun jika kesalahan bacanya tidak sampai merubah arti, maka boleh shalat di belakangnya, dengan kewajiban untuk mempelajari bacaan yang benar, dan adapun jika kesalahannya pada selain Al Fatihah, maka ia akan mengurangi shalat dan tidak membatalkannya, dan shalat di belakang imam yang mutqin bacaan Al Qur’annya, tidak diragukan lebih utama darinya. Dan tidak boleh bagi para penguasa untuk memberikan mandat kepada mareka yang tidak tahu ini menjadi imam shalat, kalau tidak maka mereka akan bersekutu menanggung dosanya”. (Lihat Al Mughni: 3/29-32 Terbitan Hajar)
Ulama Lajnah Daimah berkata:
“…Adapun jika ia bersalah, dan kesalahannya adalah salah ucap yang tidak merubah arti, maka shalat di belakanya orang yang tidak salah ucap lebih utama jika hal itu memudahkan, dan jika salah ucapnya pada surat Al Fatihah yang merubah arti, maka batal shalat di belakangnya. Dan hal itu karena salah ucapnya bukan karena keummiannya; seperti bacaan إياك نعبد dengan kaf dibaca kasrah, atau أنعمت عليهم dengan huruf ta’ dibaca dhommah atau kasrah, dan jika ia bersalah karena lemahnya hafalannya, maka orang yang lebih hafal darinya lebih utama untuk menjadi imam.
(Fatawa Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta’: 2/527)
Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- pernah ditanya:
“Seorang imam yang salah ucap dalam bacaan Al Qur’an, dan terkadang menambah dan mengurangi pada beberapa huruf pada ayat Al Qur’an, maka bagaimanakah hukumnya shalat di belakangnya ? “
Maka beliau menjawab:
“Jika salah ucapnya tidak merubah arti; maka tidak masalah sholat di belakangnya, seperti dibaca fathahnya kata ربّ atau dibaca dhommah pada الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الفاتحة/2 , demikian juga dibaca fathah ( الرَّحمنِ ) atau dibaca dhommah, dan lain sebagainya.
BACA JUGA: Hukum Mengakhirkan Shalat
Adapun jika merubah arti; maka tidak perlu shalat di belakangnya jika kajian dan koreksi tidak bermanfaat kepadanya, seperti; إِيَّاكَ نَعْبُدُ huruf kaafnya dibaca kasrah, dan seperti membaca أَنْعَمْتَ dengan huruf ta’ dibaca kasrah atau dengan dhommah. Dan jika ia menerima kajian atau mau memperbaiki bacaannya dengan fathah; maka shalat dan bacaannya sah. Dan yang disyari’atkan di dalam semua kondisi bagi seorang muslim agar mengajari saudaranya di dalam dan di luar shalat; karena seorang muslim itu saudara muslim lainnya, menasehatinya jika bersalah dan mengajarinya jika tidak tahu dan menuntunnya jika ragu-ragu saat baca Al Qur’an”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 12/98-99)
Kedua:
Adapun terkait dengan pengulangan “Ya Lathiif” secara khsusus sebanyak 100 kali, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah bid’ah, jika seorang muslim membaca kalimat itu saja; karena sebagai kalimat yang tidak sempurna, maka hal itu berupa panggilan kepada Allah Ta’ala, namun apa selanjutnya ?, apakah ia akan meminta sesuatu kepada Rabbnya ?, apakah ia ingin memuji-Nya setelahnya ?, tidak jelas. Dan jika disebut secara berjama’ah maka menjadi bid’ah yang lain.
Lihat: ucapan para ulama pada dua jawaban soal ini: 22457 dan 26867
Wallahu A’lam. []
SUMBER: ISLAMQA