BAGI pasangan suami istri, ada beberapa hal yang harus diketahui saat hendak jima.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menanamkan pada setiap manusia hasrat biologis (seksual) dan Dia menjadikan untuk manusia cara yang syar’i untuk menyalurkan hasrat seksual tersebut, dan hal ini supaya tidak menimbulkan kekacuan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kaidah-kaidah dan adab-adab dalam menyalurkan hasrat seksual tersebut (jima’), dan di antara adab-adab yang harus diperhatikan tersebut adalah sebagai berikut:
1- Membaca Do’a yang Dicontohkan sebelum Melakukannya.
Do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum jima’ adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا.
“Bismillah (dengan nama Allah), Ya Allah jauhkanlah kami dari syetan dan jauhkan syetan dari apa yang engkau rizqikan kepada kami (anak).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya apabila seseorang ingin mengauli istrinya (jima’) mengucapkan:”(Doa di atas) Maka apabila ditaqdirkan untuk keduanya seoarang anak dalam hubungan itu (jima’) maka setan tidak akan mengganggunya selama-lamanya” (HR.al-Bukhari dan Muslim)
2- Gaulilah di Tempat yang Ditentukan.
Adab berhubungan suami istri sesuai sunnah selanjutnya adalah gaulilah istri pada tempat yang ditentukan yaitu farji (kemaluan/vaginanya), dan diperbolehkan menggaulinya dari arah mana saja yang penting di kemaluannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki..” (Terjemahan QS. Al-Baqarah: 223)
Jabir -radhiyallahu’anhu- berkata: ”Dahulu orang-orang Yahudi berkata: ’Apabila seseorang menggauli istrinya pada kemaluannya dari arah belakang maka anaknya (apabila lahir) akan juling! Maka turunlah firman Allah:
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki..” (Terjemahan QS. Al-Baqarah: 223)
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Dari depan maupun belakang (boleh dilakukan) apabila hal itu pada kemaluannya” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Adapun menggauli istri pada duburnya maka itu adalah perbuatan yang diharamkan, tidak boleh dilakukan, dan menyalahi fithrah manusia yang telah ditetapkan oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Barang siapa menggauli (jima’) perempuan (istrinya) haidh atau pada duburnya atau mendatangi dukun lalu membenarkan ucapannya maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam -” (HR. Abu Dawud)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
”Terlaknatlah orang yang menggauli wanita di duburnya” (HR. Ibnu ‘Adi rahimahullah dan dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam kitab Adabuz Zifaf)
3- Jangan Disebarkan Apa yang Terjadi antara Kalian Berdua di Ranjang
Kebanyakan orang mengira bahwa menyebarkan atau menceritakan apa yang terjadi antara suami istri di ranjang adalah sesuatu yang boleh, dan sebagian yang lain menganggap bahwa hal itu adalah bentuk kejantanan/keperkasaan.
Bahkan di antara wanita ada yang menceritakan hal itu kepada anak-anak. Dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah sesuatu yang diharamkan dan pelakunya adalah termasuk manusia yang paling buruk. Abu Sa’id al-Khudry –radhiyallahu ‘anhu– meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya yang termasuk manusia paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang menggauli istrinya lalu dia menceritakan rahasianya (jima’ tersebut)” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi –rahimahullah– berkata: “Dalam hadits ini ada pengharaman bagi seorang laki-laki menyebarluaskan apa yang terjadi antara dia dengan istrinya berupa jima’, dan menceritakan secara detail hal itu dan apa yang terjadi dengan perempuan pada kejadian itu (jima’) berupa ucapan (desahan) maupun perbuatan dan yang lainnya.
Adapun sekadar menyebutkan kata jima’, apabila tidak ada faidah dan keperluan di dalamnya maka hal itu makruh karena bertentangan dengan muru’ah (kehormatan diri). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
BACA JUGA: Suami Istri, Haruskah Menutup Tubuh saat Jima?
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) diam.”
Adapun apabila ada keperluan atau faidah untuk membicarakannya, seperti untuk mengingkari keengganan suami dari istrinya, atau istri menuduh suami tidak mampu jima’ (lemah syahwat) dll maka hal ini tidak makruh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sungguh aku dan orang ini (istrinya) telah melakukannya” Dan beliau juga bersabda: ”Apakah engkau melakukan hubungan intim?”. Wallahu A’lam. Selesai perkataan imam Nawawi. []
SUMBER: WADAH INSPIRASI ZAKAT