DALAM kehidupan seorang Muslim, hubungan seksual atau jima diatur sedemikian rupa dalam Islam. Termasuk soal gairah suami-istri—utamanya pihak suami.
Ada faktor psikologis yang menyebabkan seorang suami memiliki tuntutan hasrat jima atau seksual yang begitu tinggi, sementara istri memiliki hasrat seksual yang lebih rendah. Untuk itu, tidak perlu membandingkan dengan orang lain.
Persoalan hasrat seksual adalah persoalan pribadi yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Tidak ada keistimewaan sedikitpun pada orang yang memiliki hasrat seksual setiap hari, dibandingan mereka yang hasratnya hanya muncul setiap pekan sekali atau sebulan.
BACA JUGA: Suami Istri Perlu Tahu, Inilah 3 Waktu Terlarang untuk Lakukan Jima
Tentunya selama hubungan jima masih dalam batas-batas normal yang dikenal di masyarakat.
Perbedaan ini seharusnya menjadi suatu pendorong pasangan suami-istri untuk saling memahami, dan untuk saling memperhatikan kondisi psikologis pasangannya. Perbedaan ini harusnya menjadi ladang kebaikan untuk membangun kesepakatan, keserasian dan kedekatan. Ini poin pertama.
Poin yang kedua. Meskipun persoalan seks merupakan salah satu unsur pembentuk yang penting bagi kehidupan rumah tangga, tetapi masih banyak unsur pembentuk yang lainnya.
Sebagai contoh, pergaulan yang baik atau mengemban tanggung jawab bersama merupakan ladang-ladang yang sangat luas bagi sepasang suami-istri untuk dapat saling memahami, meskipun salah satu pihak memiliki kekurangan dalam masalah jima.
BACA JUGA: Benarkah Ada Sunnah Melakukan Jima di Malam Jumat?
Dengan memperhatikan pergaulan yang baik, kekurangan yang ada pada pasangan pasti akan diterima.
Harus pula dipahami oleh seorang suami bahwa dalam pernikahan, dia tidak hanya akan mendapat kesenangan dan dapat memuaskan hasrat seksualnya, tetapi juga akan memperoleh sejumlah tanggung jawab baru. Apakah dia benar-benar siap untuk mengemban semua itu tanpa sedikit pun mengurangi hak salah seorang istrinya dan juga hak-hak anak-anaknya? []