SETIAP kali Umar bin Abdul Aziz membaca surat Al-Fatihah, ia menghayati ayat demi ayat dan diam sejenak di sela-sela setiap ayat. Ketika ditanyakan alasannya, dia menjawab, “Aku sedang menikmati jawaban Tuhanku.” Mengapa adabnya seperti ini?
Membaca surat Al-Fatihah berarti membuka pintu kemuliaan teragung, yaitu berkomunikasi dengan Allah swt. Rasulullah saw meriwayatkan dalam hadits qudsi,
“Aku membagi shalat antara Aku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.”
“Apabila hamba berkata, “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.” Allah berfirman, “Hamba-Ku memuji-Ku.”
“Apabila hamba berkata, “Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Allah berfirman, “Hamba-Ku menyanjung-Ku.”
“Apabila hamba berkata, “Yang menguasai hari pembalasan.” Allah berfirman, “Hamba-Ku memulaikan-Ku.” Atau, “Hamba-Ku berserah diri kepada-Ku.”
“Apabila hamba berkata, “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Allah berfirman, “Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan baginya apa yang dimintanya.”
“Apabila hamba berkata, “Tunjuki kami jalan yang lurus, yaitu jalan yang Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang sesat dan bukan pula dimurkai.” Allah berfirman, “Ini antara Aku dan hamba-Ku dan baginya apa yang dia minta.”
Setiap membaca Al-Fatihah, berarti akan merasakan bahwa Allah langsung memberikan jawaban kepada yang membacanya. Adakah kemuliaan yang sepadan dengan dialog yang berisi penyebutan hamba dan pengabulan doanya oleh Allah?
BACA JUGA:Â Â Umar bin Abdul Aziz Pecat Gubernur yang Baru Dilantiknya karena Hal Ini
Padahal sang hamba tidak melakukan hal yang baru dan tidak memberikan jasa apa pun kepada Allah. Seandainya ketika membaca Al-Fatihah di dalam hatinya merasakan bahwa Allah menjawabnya ayat demi ayat, maka akan terbang dengan kebahagiaan tak terkira.
Sesungguhnya, Maha Suci Allah, satu-satunya yang layak mendapatkan pujian, bahkan Dia lebih baik dari apa yang dipujikan hamba-Nya. []
Sumber: Amru Khalid, Khowathir Qur’aniyah, al-I’tisham