DALAM Surah Al-Ma’idah ayat enam diterangkan tentang junub dan hal lain yang berkaitan dengan bersuci.
Firman Allah:
وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ
Jika kamu junub, maka mandilah.
Dalam bahasa Arab, جُنُبًا merupakan kata yang dapat digunakan untuk mufrad (tunggal), mutsanna (ganda) dan jamak, baik untuk mudzakkar (maskulin) ataupun muannats (feminim).
Ayat ini membahas tentang kondisi seseorang yang dalam keadaan junub maka tidak cukup baginya hanya sekadar berwudhu melainkan ia wajib untuk mandi.
Makna فَاطَّهَّرُوْاۗ dalam ayat tersebut adalah mandi janabah. Dari ayat tersebut terdapat faedah bahwa mandi janabah tidak diwajibkan untuk tertib (berurutan) dalam pelaksanaannya karena Allah tidak memerinci penyebutan anggota badan sebagaimana ketika menjelaskan ayat wudhu.
BACA JUGA: Qarun dalam Al-Quran
Dari sini juga dapat dipahami bahwa mandi junub harus meliputi seluruh bagian tubuh. Oeh karena itu, seseorang yang junub kemudian mandi dengan niat menghilangkan hadas besar maka itu sudah mencukupinya, sekalipun dia tidak meniatkan untuk menghilangkan hadas kecil dan tidak memulainya dengan wudhu terlebih dahulu.
Kalau kita perhatikan konteks ayat ini, di awal ayat Allah memerintahkan seseorang yang berhadas kecil ketika hendak menunaikan shalat agar berwudhu terlebih dahulu, dan adapun yang berhadas besar maka Allah memerintahkannya untuk mandi. Jadi, jika seseorang mandi dan berniat untuk menghilangkan hadas besar maka sudah cukup baginya untuk menunaikan shalat meskipun dia tidak berniat untuk menghilangkan hadas kecil.
Karena, jika seseorang telah berniat untuk menghilangkan hadas besar maka secara otomatis hadas kecilnya akan terangkat. Sekalipun dia tidak berwudhu ketika mandi. Sebab, wudhu bukanlah syarat mandi janabah dan wudhu dalam mandi janabah hukumnya sunnah. Namun, perlu diingat bahwa mandi janabah harus disertai dengan niat terlebih dahulu.
Jika tidak disertai niat maka mandinya tidak sah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya “maka mandilah” yang menunjukkan bahwa mandi tersebut diniatkan untuk menghilangkan janabah.
Selanjutnya firman Allah:
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا
Dan jika kamu sakit, atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamum-lah dengan debu yang baik (suci).
Dalam ayat tersebut “sakit” disebutkan pertama kali sebab banyak orang sakit yang tidak mampu dan/ atau bertambah parah sakitnya apabila terkena air. Tentunya, tidak semua sakit membolehkan seseorang untuk bertayamum. Sakit yang membolehkan seseorang untuk bertayamum adalah sakit yang menjadikannya tidak bisa menggunakan air, seperti luka bakar, luka terbuka yang jika terkena air maka akan terasa perih, atau penyakit lainnya yang apabila seseorang menggunakan air maka akan bertambah parah sakitnya atau kesembuhannya menjadi tertunda.
BACA JUGA: Mengapa Tidak Ada yang Bisa Mengubah Isi Al-Quran?
Begitu juga dengan orang yang takut sakit apabila menggunakan air maka dibolehkan juga untuk bertayamum. Misalnya, seseorang yang tinggal di tempat yang sangat dingin dan kemungkinan besar apabila ia menggunakan air maka dia akan sakit, maka diperbolehkan baginya untuk batayamum.
Begitu pula dengan orang sakit yang sulit baginya untuk melakukan banyak gerakan dan berwudhu maka dibolehkan baginya untuk bertayamum. Tidak diharuskan untuk meminta bantuan kepada orang lain agar mewujudkannya. Diperbolehkan juga bagi yang sedang melakukan safar untuk melakukan tayamum karena biasanya seseorang yang sedang safar kesulitan untuk mendapatkan air.
Namun, Alhamdulillah, pada izman ini karena kemajuan teknologi seseorang bisa dengan mudah mendapatkan air meskipun sedang dalam keadaan safar.
Kemudian Allah berfirman:
اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ
Atau kembali dari tempat buang air (kakus)
Jika diartikan secara tekstual makna الْغَاۤىِٕطِ adalah tempat yang tenang dan landai. Dahulu orang-orang Arab jika ingin buang hajat mereka pergi ke tempat yang sepi dan landai karena mereka tidak memiliki toilet di rumah-rumah mereka. Oleh karena itu, mereka menggunakan ungkapan… untuk mengungkapkan aktivitas buang hajat.
Di antara pelajaran dari ayat ini, sebaiknya seseorang menggunakan bahasa kinayah (kiasan) untuk redaksi atau kalimat yang dirasa kurang sopan. Ini seperti halnya ucapan yang berlaku di masyarakat kita, “Saya ingin ke belakang”. Biasanya ini tentu dirasa lebih sopan dibandingkan ungkapan secara eksplisit. Dari kata الْغَاۤىِٕطِ terdapat faedah lainnya yaitu seseorang hendaknya menutup diri ketika sedang buang hajat.
Selanjutnya, firman Allah:
اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ
Atau kalian menyentuh wanita
Para ulama berbeda pendapat terkait makna “menyentuh” dalam ayat ini. Secara umum, setidaknya terdapat dua pendapat dalam masalah ini, yakni:
Pendapat pertama menyatakan maksudnya adalah jimak (hubungan intim). Ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Abbas. Ibnu Abbas mengatakan, “Al-Lamsu, Al-Massu, dan Al-Mubasyarah maknanya adalah jimak. Sesungguhnya Allah memberikan kinayah (kiasan) kepada sesuatu sesuai kehendak-Nya”.
Pendapat kedua menyatakan sebagian sahabat Nabi ﷺ berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-lamsu adalah persentuhan kulit. Dalam hal ini pun terjadi perbedaan pendapat. Menurut Al-Auza’i, yang dimaksud adalah menyentuh dengan tangan. Sementara menurut Ibnu Umar, yang dimaksud adalah sentuhan yang disertai syahwat (menimbulkan ereksi).
BACA JUGA: Inilah Perumpamaan Dunia dalam Al-Quran
Pendapat yang insya Allah lebih kuat dan dipilih oleh penulis tafsir adalah pendapat pertama, yaitu bahwa yang dimaksudkan adalah hubungan intim (jimak). Sebab, pada ayat lain dalam Quran kata lams digunakan sebagai kinayah (kiasan) dari jimak. Selain itu, juga terdapat hadis-hadis yang menguatkan pendapat ini. Di antaranya bahwa Nabi ﷺ menyentuh Aisyah ketika sedang shalat dalam kegelapan malam untuk menandakan bahwa beliau ingin sujud. Hal ini beliau lakukan karena kondisi kamar beliau yang sempit dan tidak ada penerangan.
Begitu pula hadis yang menceritakan ketika Aisyah terbangun di malam hari dan mencari-cari Nabi, kemudian memegang kaki beliau dan mendapatinya sedang sujud. Di dalam hadis ini juga disebutkan bahwa Nabi ﷺ mencium sebagian istrinya kemudian shalat tanpa kembali berwudhu. Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lams (menyentuh) pada ayat di atas adalah hubungan intim (jimak).[]
SUMBER: TAFSIR AT-TAYSIR SURAH AL-MA’IDAH | PUSAT STUDI QURAN