SYARIAT Islam merupakan aturan yang dbuat Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Maka syariat Islam tidak akan pernah mungkin bertentangan dengan kehidupan makhluk ciptaan Allah SWT.
Manusia adalah khalifah di muka bumi. Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada sang khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama.
Untuk mencapai tujuan suci ini, Allah memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya, petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik akidah, akhlak, maupun syariah.
Dua komponen pertama, akidah dan akhlak, bersifat konstan. Keduanya tidak mengalami perubahan apa pun dengan berbedanya waktu dan tempat.
Dikutip dari buku Bank Syariah karya Muhammad Syafi’i Antonio, adapun syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban umat yang berbeda-beda sesuai dengan masa rasul masing-masing. Sesuai firman Allah SWT, “…Untuk tiap-tiap di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (QS. Al-Maidah: 48)
BACA JUGA: Inilah 9 Adab Berjalan dalan Tuntunan Islam
Syariat Islam bagi Alam Semesta
Syariat Islam sebagai suatu syariah yang dibawa oleh rasul terakhir, mempunyai keunikan tersendiri, karena syariat Islam bermakna universal yang dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai hari akhir nanti. Universalitas ini tampak jelas terutama pada bidang muamalah.
Selain mempunyai cakupan luas dan fleksibel, muamalah tidak membeda-bedakan antara Muslim dan non Muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan Sayyidina Ali. “Dalam bidang muamalah kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah kita,”
Sifat amalah ini dimungkinkan karena Islam mengenal hal yang diistilahkan sebagai tsawabit wa mutaghayyirat. Dalam sektor ekonomi, misalnya, yang merupakan prinsip adalah larangan riba, sistem bagi hasil, pengambilan keuntungan, pengenaan zakat, dan lain-lain.
Dewasa ini masih terdapat anggapan bahwa Islam menghambat kemajuan, beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai faktor penghambat pembangunan. Pandangan ini berasal dari para pemikiran barat, meskipun demikian tidak sedikit intelektual Muslim yang juga diyakini.
Sehingga adanya kesalahpahaman terhadap Islam, seolah-olah Islam hanyalah agama yang berkaitan dengan masalah ritual saja. Bukan sebagai suatu sistem yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masaah pembangunan ekonomi serta industri perbankan sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian.
Padahal itu malah sebaliknya, anggapan yang demikian menjadi pengaruh bagi umat Islam yang seakan kehilangan jati diri Muslim. Pada sejarahnya konsep perekonomian bahkan sudah ada sejak jaman Rasulullah SAW.
Syariat Islam bagi Alam Semesta
Namun, yang demikian janganlah menjadikan anggapan itu sebagai kelunturan jati diri Muslim yang sesungguhnya. Bahkan kita harus menampilkan dan membuktikan perekonomian Muslimlah yang dapat memerankan dunia dengan didampingi penyeimbangan aspek dunia dan akhirat.
Perlu kita tahu bahwa syariat Islam hadir tidak hanya sebagai rahmat bagi umat manusia, tetapi juga bagi alam semesta. Pesan dan makna rahmatnya Islam sudah diisyaratkan dalam Alquran dan hadis.
Mengutip Republika, secara kebahasaan, rahmat berasal dari bahasa Arab, rahman, yang berarti ‘kasih sayang.’ Ada lebih dari 90 ayat di dalam Alquran yang menyinggung tentang rahmat. Ungkapan Bismillahi ar-Rahmaan ar-Rahiim acapkali diulang-ulang pada awal hampir setiap surah.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi, niscaya Allah menyayangi.” Artinya, Islam amat menganjurkan umatnya untuk menebar kasih sayang. Bahkan, itulah misi kenabian Rasulullah SAW, sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Anbiya ayat 107.
Terjemahannya, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).”
Di antara sifat-sifat Allah adalah Mahapengasih dan Mahapenyayang. Alquran surah al-A’raf ayat 156 menegaskan, rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Dengan pesan inilah, risalah Islam menyebar ke muka bumi.
Sebelum Islam berjaya, Jazirah Arab sangat mengutamakan kebanggaan yang berlebihan terhadap suku masing-masing. Tidak mengherankan bila sering terjadi perang antarsuku, bahkan bila persoalan sepele.
Ketika syariat Islam meliputi Makkah, Madinah, dan akhirnya seluruh kawasan tersebut, maka kebanggaan duniawi tersisihkan. Orang-orang mulai menyadari dan mengamalkan kebanggaan yang sejati, yakni memperjuangkan agama ini.
Islam menolak rasisme, sehingga fanatisme berlebihan pada suku-suku bangsa ditolak. Inilah semangat kosmopolitan. Dengan itu, Islam menyebar sebagai rahmat bagi umat manusia. Puncaknya terjadi pada masa keemasan peradaban Islam. Banyak pusat-pusat keunggulan muncul di pelbagai wilayah, mulai dari Andalusia di Barat hingga Nusantara.
Syariat Islam bagi Alam Semesta
BACA JUGA: Perintah Membaca dalam Islam
Syariat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mencakup banyak konteks. Misalnya, teologi. Syariat Islam menolak tegas pemaksaan atas orang lain untuk memeluk agama yang sama seperti disebutkan surah al-Baqarah ayat 256. “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama.”
Islam semata-mata menegaskan, sudah jelas beda antara kebenaran dan kebatilan. Kemudian, tiap orang akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa-apa yang dilakukannya.
Dalam konteks sosial, Islam memberikan dorongan positif kepada umat manusia untuk saling mengenal satu sama lain. Kemudian, hubungan sosial juga dipelihara, sehingga menimbulkan ketentraman.
Banyak pakar memaparkan, adanya persaudaraan antarmanusia (ukhuwah basyariyah), persaudaraan antarbangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan di antara sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah).
Ketiganya berjalan seiringan dengan porsi masing-masin yang seimbang. Dalam tiga dimensi persaudaran itulah, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mewujud. []