ABU Hanifah yang dikenal sebagai Imam Hanafi adalah seorang pedagang pakaian. Setiap pagi, sebelum tokonya dibuka, beliau senantiasa menyortir barang dagangannya. Dipisahkan mana pakaian yang baik dengan pakaian yang buruk, pakaian yang cacat dan mana pakaian yang tidak cacat.
Semua pakaian itu dipisah-pisahkan tempatnya. Selanjunya pakaian yang cacat diberi potongan harga 50% dari harga normal dan di tempatkan terpisah dari pakaian yang masih baik.
BACA JUGA: Sikap Imam Hanafi terhadap Para Pendengkinya
Suatu hari Imam Hanafi pergi untuk berdakwah. Tokonya dititipkan pada pedagang di toko sebelahnya dengan memberikan pesan agar tidak ada pembeli yang tertipu.
Ketika kembali dari dakwahnya, rupanya barang yang cacat dijual dengan harga yang normal. Akibatnya Imam Hanafi menjadi gundah.
“Bukankah sudah kukatakan, barang-barang yang dipisahkan itu cacat dan dihargai 50% dari harga normal? tanya Imam Hanafi.
“Benar, kau telah menyatakan, tetapi aku lupa,” jawab orang yang dititipinya.
Maka Imam Hanafi menanyakan alamat orang yang membeli pakaian yang cacat itu untuk dikembalikan lebihnya. Tapi rupanya pedagang yang dititipi tidak menanyakan alamat orang yang membeli. Maka ditanyakanlah ciri-cirinya.
BACA JUGA: Imam Hanafi atau Imam Maliki, Siapa yang Lebih Berilmu? Ini Jawaban Imam Syafi’i
Selanjutnya sang Imam mencari orang itu di sekeliling kota, namun tidak ditemukan. Maka uang penjualan pakaian yang cacat itu diinfakkannya semua.
Sejak peristiwa itu Imam Hanafi tidak lagi mau menitipkan barang dagangannya kepada orang lain karena khawatir kejadian yang sama akan terulang kembali. []
Sumber: Moralitas Islam Dalam Ekonomi dan Bisnis/ Penerbit: Dr. Yan Orgianus / Penerbit: Akbarmedia,2012