GHIBAH, atau membicarakan keburukan orang lain tanpa kehadiran mereka, merupakan salah satu dosa besar dalam Islam. Al-Qur’an dan hadis dengan tegas melarang perilaku ini karena dapat merusak hubungan antarindividu dan menciptakan fitnah di tengah masyarakat. Namun, bagaimana jika ghibah tersebut ditujukan kepada pejabat publik? Apakah hukumnya tetap sama, atau ada kelonggaran tertentu dalam Islam? Artikel ini akan membahas hukum ghibah kepada pejabat publik berdasarkan ajaran Islam dan etika sosial.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik.” (QS. Al-Hujurat: 12).
BACA JUGA: Kamu Hobi Ghibah? Obati dengan 10 Cara Ini
Ayat ini menegaskan bahwa ghibah adalah perilaku tercela yang diibaratkan seperti memakan bangkai saudara sendiri. Larangan ini bersifat umum, mencakup semua orang, termasuk pejabat publik. Secara prinsip, Islam melarang menyebut keburukan seseorang tanpa alasan yang benar, karena dapat menimbulkan kerusakan moral dan sosial.
Namun, dalam konteks pejabat publik, ulama memberikan beberapa penjelasan tambahan. Pejabat publik adalah individu yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakat. Tindakan mereka tidak hanya memengaruhi kehidupan pribadi, tetapi juga kepentingan publik secara luas. Oleh karena itu, ada situasi di mana kritik terhadap pejabat diperbolehkan, bahkan dianjurkan, selama dilakukan dengan niat dan cara yang benar.
Dalam Islam, menegur atau mengingatkan seorang pejabat adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kritik ini harus didasarkan pada fakta dan bertujuan untuk memperbaiki keadaan, bukan untuk mencemarkan nama baik atau menyebarkan kebencian. Rasulullah SAW bersabda:
“Agama itu adalah nasihat.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan kaum Muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa memberikan nasihat kepada pemimpin, termasuk pejabat publik, adalah bagian dari tanggung jawab seorang Muslim. Namun, nasihat tersebut harus dilakukan dengan cara yang bijaksana, tidak melalui fitnah atau ghibah yang merusak reputasi seseorang.
Ghibah terhadap pejabat publik menjadi dosa ketika dilakukan tanpa dasar yang jelas dan dengan tujuan merendahkan martabat mereka. Contohnya adalah menyebarkan rumor atau informasi yang tidak benar. Dalam situasi seperti ini, pelaku ghibah bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan, baik di dunia maupun di akhirat.
BACA JUGA: Berhati-hatilah terhadap Ghibah = Riba? oleh Ustadz Khalid Basalamah
Sebaliknya, Islam memberikan ruang untuk menyampaikan kritik yang konstruktif dan faktual terhadap pejabat publik. Hal ini dilakukan demi menjaga keadilan dan kepentingan masyarakat. Namun, kritik tersebut harus disampaikan dengan etika, misalnya melalui jalur hukum, forum diskusi, atau dialog langsung. Hindari mencampurkan emosi atau kepentingan pribadi dalam kritik, agar niat memperbaiki tetap murni.
Sebagai kesimpulan, ghibah terhadap pejabat publik tetap dilarang dalam Islam, kecuali jika bertujuan untuk kebaikan bersama dan dilakukan sesuai dengan syariat. Umat Islam diingatkan untuk menjaga lisan dan niat ketika berbicara tentang pejabat atau pemimpin. Dengan mengutamakan etika dan prinsip amar ma’ruf nahi munkar, kritik terhadap pejabat dapat menjadi langkah yang bernilai ibadah, bukan sekadar cerminan hawa nafsu. Semoga kita senantiasa diberi kebijaksanaan dalam berkata-kata dan bertindak. []