Oleh: Raidah Athirah
Muslimah-Penulis, Tinggal di Polandia
SEMASA ta’aruf, saya dan Abu Aisha sudah mendiskusikan tentang topik poligami jauh-jauh hari sebagai sebuah pemahaman bersama. Sebagai dua orang yang tumbuh dalam dua budaya yang jauh berbeda, kami perlu mengomunikasikan hal-hal yang sudah ada dalam syariat yang tidak perlu dibuat runyam: poligami.
Saya dari awal menanam prinsip dalam hati bahwa apa yang sudah diatur dalam hukum syariat tidaklah perlu diperdebatkan apalagi sampai jatuh pada sikap judgemental.
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,” (QS. An-Nisa’: 3).
Allah Maha Tahu kemampuan dan kebutuhan makhlukNya. Tentu ada banyak hikmah suami berpoligami.
Allah,Tuhan Yang Maha Adil menurunkan hukum syariat tentang poligami untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Tidak ada istilah berat sebelah. Pengetahuan kita akan sejarah peradaban besar yang pernah ada di muka bumi tentang praktik poligami sungguh akan membawa kita pada kekaguman hukum syariat. Akan tetapi memang kebanyakan manusia yang menuhankan logika berusaha mengolok-olok hukum ini.
Wanita-wanita pembangkang yang menamakan diri kaum feminis berusaha melecehkan hukum syariat tentang poligami walau kenyataannya mereka telah gagal dengan kampanye-kampanye kesetaraan.
Apa yang mereka perjuangkan hanya sebuah ilusi. Terlihat indah namun nyata yang ada berupa kebingungan di masa depan.
Alangkah sedih bila wanita-wanita itu (mengaku) muslimah di saat bersamaan menolak bahkan mengolok-olok. Bila kita tak punya kemampuan dan ilmu, maka sikap yang paling bijaksana adalah diam. Tidak pantas kita mengaku Muslim atau Muslimah tapi dengan mudah mengolok-olok hukum Allah dengan akal kita yang kerdil ini.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya,” (QS. Al Isro’ : 36).
*****
Sebagai istri, suami tidak perlu meminta izin untuk beristri lagi namun adabnya istri perlu tahu agar ada rasa saling menghormati.
Pembahasan poligami bukanlah jatuh pada sifat mendukung dan tidak melainkan menerimanya sebagai hukum syariat yang sudah diatur dalam agama ini.
Kadar keadilan dalam poligami tak bisa juga diukur dengan perasaan atau permainan logika karena serangkaian prosedur dalam berpoligami telah diatur dalam batas-batas hukum syariat yang adil bagi seluruh makhlukNya.
Poligami harus disikapi sebagai sebuah pilihan sosial yang mubah, boleh dilakukan bagi yang memiliki kemampuan dan tidak berdosa juga orang yang tidak melakukannya. Garisnya adalah tidak wajib dan tidak dibolehkan bagi laki-laki yang merasa tidak sanggup berbuat adil.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” ( Q.S.An-Nisa : 3).
****
Abu Aisha sendiri menasihati bahwa poligami tidak perlu menjadi hal yang begitu kontroversial karena ketentuannya telah jelas ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Intinya kita tahu dan menerima.
Teknis pelaksanaannya tergantung dari keluarga tersebut. Mampu berpoligami atau bahagia bermonogami.
Bagi keluarga yang telah berpoligami tentu ada banyak hal yang orang luar tak bisa menilai. Persangkaan yang buruk tentang poligami kemudian membuat (sebagian) wanita menjadi ngeri melihat bentuk poligami merupakan tanda bahwa kita perlu banyak belajar dan menggali ilmu.
Permasalahannya kita tumbuh di zaman dimana zina,perempuan simpanan dan perselingkuhan menjadi hal yang lumrah. Ketika masyarakat sudah umum dengan hal ini, maka hukum syariat berupa poligami menjadi hal yang tabu dan memalukan. Sungguh pemikiran sosial yang ironis!
Poligami juga bukan berarti memprovokasi wanita-wanita single kehilangan adab sampai mengganggu rumah tangga orang lain. Ini adalah hal yang berbeda. Dan bukan sebuah bentuk legalisasi suami untuk menikah diam-diam tetapi di saat yang bersamaan menelantarkan anak dan istri.
Saya nasihatkan bagi saudari yang belum menikah, tolong jaga izzahmu! Kehormatan itu penting. Bila ingin dinikahi dengan terhormat, maka bersikaplah sebagai wanita terhormat.
Penilaian buruk di masyarakat tentang poligami karena ada batas-batas yang dilanggar. Ada adab-adab yang tak dipraktekkan kecuali bagi mereka yang benar-benar dari awal telah meniatkan ini sebagai sebuah jalan merindukan surga.
Semasa mahasiswi saya menyatakan diri siap untuk dipoligami. Di data ta’aruf saya mencantumkan ‘menerima poligami’. Akan tetapi tidak membuat saya menjadi muslimah agresif yang memprovokasi laki-laki untuk menikah dengan alasan poligami. Prinsip saya waktu itu bila yang meminta itu istri dari laki-laki yang mau berpoligami maka dengan senang hati saya menerima tawaran ta’aruf itu.
Semua ada aturannya. Bagi keluarga yang sudah mampu berpoligami haruslah dihormati bukan sebaliknya dijadikan bahan ghibah siang dan malam. Bagi saudari yang belum menikah, tetaplah dalam adab kehormatan. Bila tak ada laki-laki single sholeh yang datang meminang, jangan menutup diri dari laki-laki sholeh yang ingin berpoligami.
Suami bukanlah milik istri. Kita semua adalah milik Allah. Komunikasi dan keterbukaan adalah jalan dalam rumah tangga.
Sekuat apapun kita menjaga, tak akan mampu mengikat suami kita selamanya karena pada hakikatnya kita menjadi amanah bagi satu sama lain.
Ukuran amanah bukanlah diukur dengan perasaan melainkan serangkaian ketentuan sya’ra yang sudah diatur dalam Al-Qur’an. Sebagai muslimah sikap menantang dan mengolok-ngolok hukum poligami adalah menunjukkan kejahilan.
Laki-laki yang tidak memenuhi ketentuan berpoligami juga menunjukkan kecacatan yang harus dievaluasi. Kegagalan berumah tangga dalam berpoligami bukan menjadi acuan untuk menentang hukum syariat karena bila ingin menilai dengan adil berapa banyak rumah tangga monogami yang menunjukkan angka kegagalan.
Sikap bijak sebagai seorang Muslimah /Muslim adalah berada di tengah-tengah. Istri tak perlu menunjukkan penentangan kepada hukum poligami, suami perlulah belajar tentang hukum berpoligami.
Jangan sampai sikap kita yang menentang hukum poligami menjadikan para pendengki dan orang-orang pendek akal bersorak-sorai dan mengolok kemuliaan agama ini.
Allah Maha Mengetahui ciptaanNya. Kita makhlukNya harus senantiasa belajar dan menggali hikmah atas setiap aturanNya.
Saya pribadi merindukan surga yang bernama poligami. Hanya saja saat ini masih banyak keterbatasan dan minimnya kemampuan untuk memenuhi syarat untuk berpoligami. Namun kami belajar untuk mempersiapkan diri dan keluarga untuk bahagia hidup berpoligami. Semoga kelak surga bernama poligami tak sekadar kurindukan. []
Jablonna, Polandia