PERKEMBANGAN ekonomi Islam di Inggris menjadi fenomena yang menarik mengingat Inggris bukanlah negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Bahkan, saat menjadi tuan rumah World Islamic Economic Forum (WIEF) tahun 2013, David Cameron selaku Perdana Menteri mendeklarasikan tujuan Inggris sebagai pusat Ekonomi Islam di luar negara mayoritas muslim.
Bidang Hubungan Luar Negeri PP KAMMI bersama ASEAN Young Leaders Forum (AYLF) Indonesia merespon isu menarik ini dengan menyelenggarakan Diskusi Online pada Sabtu (3/6/2017). Bertemakan “Kebangkitan Ekonomi Islam di Inggris”, Lathifa Hapsari (Kandidat MSc Durham University – United Kingdom) didapuk menjadi narasumber diskusi dan Afif Pratama Putra (Bidang Hubungan Luar Negeri PP KAMMI) sebagai moderator memandu jalannya diskusi.
“Secara historis, invasi Inggris ke Pakistan, India dan Bangladesh berakibat masuknya banyak muslim ke Inggris”, ungkap Lathifa memberikan pengantar. “Banyaknya warga muslim ini kemudian meningkatkan permintaan terhadap ekonomi syariah, sehingga berdampak pula pada pertumbuhan industri yang signifikan. Bank Al-Baraka mengawali geliat ekonomi Islam di Inggris pada tahun 1983,” ia melanjutkan.
“Namun yang menjadi pemicu utama melesatnya ekonomi Islam di Inggris adalah pernyataan Perdana Menteri David Cameron tahun 2013 silam,” ungkapnya.
“Yang menarik adalah, bahwa fenomena ini terjadi atas dasar aturan negara, dimana Inggris memperhatikan kesetaraan dan secara konsisten mempromosikannya. Pemerintah menegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang tidak dapat mengakses layanan keuangan hanya karena iman mereka,” tegas Lathifa.
Alumnus Universitas Brawjiaya itu menjelaskan bahwa ada satu hal yang membuat ekonomi Islam menarik banyak peminat, terutama di bidang investasi. “Dalam perspektif investor, sukuk (instrumen seperti obligasi syariah) adalah produk yang paling menarik dari industri, nilainya bahkan lebih tinggi dari industri perbankan.”
Selanjutnya, ia mengungkapkan salah satu kejadian yang menjadikan titik lompatan Ekonomi Islam. “Momentum krisis 2008 memicu percepatan Ekonomi Syariah karena investor perlu menggalang dana sekaligus menuntut keamanan dalam investasi. Produk Ekonomi Islam, berbeda dari konvensional dalam hal kepemilikan dan keterkaitannya dengan sektor ekonomi riil. Pada krisis 2008, banyak instrumen konvensional hanyalah kertas tanpa didukung aset, saat pasar terguncang, investor dirugikan karena kehilangan kekayaan mereka. Hal ini melanggar Maqashid Syariah berupa penjagaan harta,” pungkasnya.
Sebagai penutup, Lathifa menekankan bahwa berbicara Ekonomi Islam sangat luas dan memiliki beberapa hal yang jauh berbeda dan tak mampu diadopsi barat. “Kontribusi perbankan di banyak sisi terhadap keuangan syariah memang menarik dan mudah dikenali oleh pasar (masyarakat). Tapi alih-alih hanya berbicara soal itu, Islam memiliki instrumen yang sangat berbeda yang hanya dimiliki oleh Islam bahkan tidak mampu diduplikasi oleh peradaban barat. Wakaf dan zakat contohnya, adalah hal yang sangat penting untuk mencapai pemasukan finansial, untuk menyediakan dana, akses, penjangkauan, dan keberlanjutan. Tugas kita yakni membuat instrumen ini memainkan peran vitalnya.”
Diskusi Online KAMMI dan AYLF Indonesia kali ini diikuti oleh ratusan mahasiswa dan pemuda dari berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, perwakilan mahasiswa dari manca negara seperti IKRAM Siswa Malaysia, AYLF Filipina, dan Inggris ikut mengambil bagian dalam diskusi ini. []
Kiriman: Afif Pratama Putra, pratamaafif@gmail.com