SETIAP orang beriman pasti pernah berbuat dosa, kecil maupun besar. Setiap insane pasti pernah lalai dan lupa. Allah sangat mencintai orang-orang yang bertobat dan kembali menyucikan diri.
Dalam diari seorang PSK yang ditemukan di sebuah kafe Kalijodo tergores kata-kata seperti ini: “Ya Allah, aku nggak betah lagi dengan yang aku jalani sekarang, bimbinglah aku ke jalan yang benar ya Allah.”
Di keheningan malam, seorang pendosa bermunajat dan memohon ampun kepada Tuhan-nya dengan penuh harap dosa-dosanya terampuni, “Ya Rabb, meski dosaku menumpuk, tapi kusadar maafmu begitu luas. Jika yang boleh berharap kepada-Mu hanya orang-orang baik, lalu kepada siapa para pendosa mengharap dan berdoa? Tiada jalan bagiku, kecuali berharap. Meminta maaf-Mu dan aku berserah diri.”
Dalam buku berjudul “Tuntunan Tobat” yang ditulis oleh Muhammad Nabil Dhaif (Penerbit Istanbul), Allah melarang para hamba-Nya berputus asa dari rahmat dan ampunan-Nya, karena pintu tobat selalu terbuka, kapan saja. Allah selalu menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya. Dia tidak menginginkan kehinaan dan kezaliman menimpa hamba-Nya.
Allah pun menangguhkan siksa para hamba agar mereka mau bertobat. Jika mereka bertobat, maka Allah akan menerimanya dengan memberi ampunan, meski dosa-dosanya membumbung setinggi langit dan membentang seluas bumi.
Dalam hadits qudsi, dari Anas bin Malik, dia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Allah berfirman, “Wahai Anak Adam, sungguh jika engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, pasti akan Aku ampuni dosa yang telah engkau perbuat dan Aku tidak memedulikannya.
“Wahai Anak Adam, seandainya dosamu membumbung setinggi langit lalu engkau memohon ampunan kepada-Ku, pasti Aku ampuni semuanya.”
“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan membawa kesalahan seluas bumi, lalu menemui-Ku dan tidak menyekutukan-Ku, pasti Aku mendatangimu dengan ampunan seluas bumi pula.” (HR. Tirmidzi).
Allah bahkan lebih mendahulukan kasih sayang dan ampunan-Nya daripada azab-Nya. Itulah sebabnya, Allah memerintahkan agar para pendakwah memberi kabar gembira pada orang yang tobat, sebagaimana firman Allah:
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Akulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang pedih.” (QS. Al Hijr: 49-50).
Diantara bukti kasih sayang Allah, Dia membiarkan hamba-Nya melakukan dosa dan kesalahan, sedang Dia melihat dan mengetahuinya. Allah kemudian memberi kesempatan hambanya untuk bertobat, bahkan tetap memberi limpahan rahmat nikmant dan rahmat.
Berbeda dengan alam yang menyaksikan perbuatan maksiat manusia. Langit dan bumi memohon pada Rabb-Nya agar segera menurunkan bencana. Tetapi Allah menjawab, “Biarkan Aku sendiri yang mengurus hamba-hamba-Ku. Andai kalian yang menciptakan mereka, pastilah kalian akan menyayangi mereka.”
Subhanallah, betapa sayangnya Allah, meski Dia mengetahui apa yang dilakukan hamba-hambanya. Di antara tanda sayangnya Allah adalah satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat pahalanya. Sedangkan satu keburukan hanya dicatat satu keburukan saja.
Kisah Sepotong Roti
Hafizh Abu Nu’aim meriwayatkan, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali dan Ibnu Qudamah Al Maqdisi dari Abu Dardah. Ketika Abu Musa Al-Asy’ari mendekati ajalnya, dia berkata, “Wahai anakku, ingatlah cerota seorang lelaki dengan sepotong rotinya.”
Dahulu, ada seorang hamba yang selalu beribadah di mushallanya selama 70 tahun tanpa kenal lelah. Suatu hari, setan menyamar sebagai perempuan cantik dan menggodanya. Hamba yang shaleh itu pun tergoda dan melakukan perbuatan keji bersama wanita cantik itu selama 7 hari 7 malam.
Setelah menyadari kesalahannya, lelaki tersebut ingin bertobat. Dia kemudian keluar dengan niat bertobat, setiap langkah kakinya, dia sahalat dan sujud. Begitu seterusnya. Hingga suatu malam, dia sampai pada sebuah bangunan kumuh yang didalamnya terdapat 12 orang miskin. Kondisi lelaki itu sangat lemah. Dia pun masuk, dan duduk diantara kerumunan orang miskin.
Setiap malam seorang pendeta membagi-bagikan roti kepada 12 orang miskin. Pada malam itu, sang pendeta mengira lelaki yang hendak bertobat itu bagian dari orang miskin, hingga membaginya sepotong roti. Merasa ada yang belum mendapat jatah, dari ke 12 orang miskin itu bertanya, “Kenapa malam ini engkau tidak memberiku roti.”
Sang pendeta pun gusar karena mengira sudah memberikan (roti) semuanya. Sang pendeta berkata, “Apakah diantara kalian ada yang mendapat jatah dua roti?” Lalu semua menjawab, “Tidak!”
Kemudia lelaki yang bertobat dan mendapat roti itu mendatangi si miskin yang tidak kebagian jatah lalu memberikan roti kepadanya. Pagi harinya, ditemukan lelaki yang bertobat tersebut meninggal.
Abu Musa melanjutkan, “Amal ibadah lelaki yang bertobat tersebut selama 70 tahun ditimbang dengan dosanya selama 7 hari. Ternyata, dosa 7 hari lebih berat ketimbang 70 tahun ibadahnya. Pemberian rotinya kepada orang miskin pun ditimbang dengan dosanya selama 7 hari. Ternyata, sedekah rotinya lebih berat pahalanya ketimbang dosanya selama 7 hari.
Abu Musa melanjutkan, “Wahai anakku, ingatlah selalu kisah lelaki dan sepotong roti tersebut.” Dengan bertobat dan bersedekah, seseorang yang telah melakukan dosa besar pun telah terampuni dan masuk surga.
Sebuah kebodohan jika seseorang mengira akan mendapat ampunan, tanpa melakukan ketaatan dan kebaikan. Agar kita terhindar dari perbuatan dosa, hendaklah memiliki rasa khauf (takut), raja’ (harap), dan jangan pernah berputus asa. Terpenting, memiliki rasa selalu diawasi oleh Allah, baik dalam kesendirian mau keramaian.[]