Oleh: Dek
SETIAP kita—saya yakin, pastilah punya teman-teman sejati. Satu tahun yang lalu, saya dengan teman-teman sejati saya itu, entah ada angin apa, tanpa ada petir ataupun hujan, bikin sebuah resolusi: peta hidup. Ini gara-garanya saya yang kata mereka masih punya sedikit sisi baik—sejak kami ini dikenal sebagai anak-anak yang rada bengal, baca sebuah buku novel karangan Habiburahman El Shirazy: Ayat-Ayat Cinta.
Mungkin karena itu novel pertama yang saya baca, atau karena isinya saya rasa berbeda dengan novel-novel Islam pada umumnya, yang sori-sori saja, kualitasnya begitu-begitu saja, bahkan cuma sekadar ngeramein aja (sekali lagi, sori yak!), novel itu lumayan membekas pada diri saya. Bahkan saya, sedikit gimana gitu, yah ngerasa terobsesi juga sama isi dari tuh novel.
Satu tahun yang lalu, dalam suatu kongkow-kongkow, saya ngajakin teman-teman se-geng saya yang berjumlah 9 orang untuk bikin peta hidup. Pada awalnya, jelas saya diketawain dan diledek abis-abisan. “Ketempelan setan apa lo?”, “Halah, apa nggak salah neh?”, dan kalimat-kalimat nyela yang lainnya. Perlu saya jelasin kali yak, kalo geng kami bukan geng rohis yang suka nongkrong di masjid. Tapi juga nggak kriminal-kriminal amat, walopun yah, tadi udah dijelasin, rada bengal untuk ukuran anak kampung. Beberapa orang masih suka ngerokok, dan kami juga masing-masing punya band.
Hanya saya aja satu-satunya di geng ini yang masih punya akses dengan rohis—secara saya kebetulan duduk sebangku dengan seorang aktivis rohis di sekolah. Baca novel di atas dan suka majalah ini pun saya dapet dari dia.
Peta hidup itu berisi rencana jangka panjang dan jangka pendek. Jangka panjang untuk 15 tahun ke depan, dan jangka pendeknya untuk 1 tahun aja. Ketika membikinnya, masing-masing kami mengajukan pertanyaan dan dijawab secara sangat pribadi. Setelah selesai, dilipat, dimasukin di sebuah amplop dan disimpen di rumah salah seorang teman kami yang paling kami percaya. And too be honest—itu bukan saya. Jadi sebenernya isinya cuman kami aja yang tau.
Untuk pertanyaan jangka panjang, isi pertanyaan antara lain, 15 tahun lagi kami akan jadi apa, kira-kira punya anak berapa, tinggal dimana, dan sebagainya. Untuk jangka pendek, ini yang menarik. Karena jaraknya cuman 1 tahun, maka akan kami evaluasi bersama-sama. Ada satu pertanyaan yang saya lontarkan yang terus bikin saya berkesan sampe sekarang tapi nggak pelak membuat bengong semua teman: satu tahun lagi, berapa banyak surat dalam Alquran yang akan kita hafal?
Saya menuliskan 1 juz alias juz yang terakhir, juz 30. Entah teman-teman yang lain. Dan satu bulan yang lalu, kami berkumpul kembali di ruangan yang sama ketika kami bikin peta hidup itu—di kamar salah seorang teman yang paling kami percaya itu.
Ada kejadian yang luar biasa aneh ketika kami mengeluarkan peta hidup itu, betapa ternyata satu tahun kami telah melewati waktu, satu tahun yang berlalu tanpa terasa, dan satu tahun yang kami kira “proyek” peta hidup ini sebagai lelucon sambil lalu, tapi sekarang kami akan menghadapinya. Mungkin bagi anak-anak rohis, momen seperti ini biasa banget.
Tapi bagi kami, secara kami adalah anak-anak yang biasa-biasa aja dan gaul lah gitu, yah mau nggak mau, peristiwa semacam ini jadi sesuatu yang terasa ganjil.
Saya nggak begitu tertarik dengan evaluasi pertanyaan-pertanyaan lain (misalnya aja, kita mau ngasih kado apa ke ortu kita tahun kemaren itu, mau ikutan eskul apa, dapet “gebetan” siapa , dan sebagainya), tapi yang paling saya tunggu-tunggu adalah pertanyaan saya itu: tentang hafalan Alquran! Pas masuk ke bagian ini, reaksinya luar biasa.
Masing-masing dari kami bikin confession yang di telinga kami terasa ganjil luar biasa. Satu teman berujar, “Gue, terus-terang aja, ngerasa tertohok ama peta hidup yang satu ini. Gue musti ngaku, kalo setahun yang lalu itu, shalat aja gue nggak bisa. Ketika nulisin berapa banyak hafalan Quran yang bisa gue kerjakan dalam setahun ini, gue nggak nulisin apa-apa, tapi gue ngerasa malu, karena shalat aja gue nggak bisa. Maka, gue ngerasa gue musti bisa shalat. Sekarang, walo masih suka telat, gue nggak pernah lagi ketinggalan shalat. Hafalan Qurannya? Minimal, 10 surat pertama dari Alfatihah, Alikhlas, Annas dan seterusnya gue udah hafal…”
Dahysat! Luar biasa! Saya begitu terperangah dengan hasilnya. Bukan cuman dari teman saya yang satu itu. Tapi juga dari teman yang lain. Semuanya punya kisah tersendiri yang bisa di-share. Ternyata, dengan peta hidup yang kami buat, se-acak kadut apapun kami, kami masih mau memperbaiki diri.
Sekecil apapun itu. Sekarang kami tengah dalam proses peta hidup jangka pendek bagian 2. So, apakah kalian juga udah punya peta hidup sendiri? []