MENEPATI janji adalah akhlak terpuji. Anak-anak pun tahu itu. Namun dalam praktiknya masih banyak orang yang ingkar kepada janjinya. Padahal janji adalah utang dan akan ditagih hingga akhirat kelak.
Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa ikatan perjanjian tidak terbatas hanya sesama kaum Muslimin. Bahkan terhadap non-Muslim pun demikian. Sekian banyak perjanjian yang telah diikat antara Rasulullah SAW dengan orang-orang non-Muslim dari Ahlul Kitab dan musyrikin tetap Beliau SAW jaga, hingga mereka sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 4).
Dalam riwayat pernah dikisahkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra melakukan ikatan perjanjian (gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu waktu Mu’awiyah bermaksud menyerang mereka di mana dia tergesa-gesa satu bulan (sebelum habis masa perjanjiannya). Tiba-tiba datang seorang lelaki mengendarai kudanya dari negeri Romawi seraya mengatakan: “Tepatilah janji dan jangan berkhianat!” Ternyata dia adalah Amr in Absah,seorang sahabat Rasulullah SAW.
Mu’awiyah lalu memanggilnya. Maka ‘Amr berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda (yang artinya): “Barangsiapa antara ia dengan suatu kaum ada perjanjian maka tidak halal baginya untuk melepas ikatannya sampai berlalu masanya atau mengembalikan perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” Akhirnya Mu’awiyah menarik diri beserta pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman no. 4049-4050 dan Ash-Shahihah 5/472 hadits no. 2357)
Kalau hal itu bisa dilakukan terhadap kaum musyrikin, tentu lebih-lebih lagi terhadap kaum Muslimin, kecuali perjanjian yang maksiat, maka tidak boleh dilaksanakan. Rasulullah SAW bersabda:
“Dan kaum Muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang dihalalkan atau menghalalkan yang haram.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1352, lihat Irwa`ul Ghalil no. 1303). []