Oleh: Eko Jun
PADA sepuluh hari yang akhir di bulan ramadhan, secara nyata kita bisa menyaksikan penurunan amal ibadah di kalangan kaum muslimin. Masjid yang awalnya penuh, mulai berkurang jama’ahnya.
Kita tentu tidak menafikan ghirah ibadah yang meningkat tajam pada sebagian kaum muslimin dengan melaksanakan i’tikaf. Tapi secara umum, kualitas dan kuantitas beramal jelas turun bila dibandingkan pada masa awal ramadhan.
Apa saja faktor penyebabnya?
Pertama, Bosan dan Jenuh
Benar, ada rasa bosan yang melanda jiwa, ada rasa jenuh yang menggelayuti hati. Bosan taraweh, jenuh tadarus dll. Rasa bosan dan jenuh memang bisa terjadi pada perkara apa saja, tidak terkecuali dalam urusan ibadah sekalipun.
Karena itu, kita diperintahkan untuk beramal sesuai kemampuan dan tidak perlu berlebih – lebihan. Karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan menerima amal ibadah kita, justru kita sendiri yang akan bosan beramal.
Tetapi, riwayat tersebut jelas bukan dimaksudkan untuk menjadi permakluman bahwa kita boleh rehat beribadah karena bosan dan jenuh. Satu sisi, kita perlu mengenal banyak ragam ibadah agar jika kita bosan dengan satu amal, bisa kita selingi dengan amal ibadah yang lain. Sisi lain, kita perlu meningkatkan ketahanan dalam beribadah agar bisa beribadah dalam waktu lama, dia ntaranya dengan mengetahui konsep tarhib wa targhib atas suatu amal.
Kedua, Target Sudah Tercapai
Mungkin di awal ramadhan, kita sudah menetapkan sejumlah target amalan. Misalnya mau berapa kali khatam tadarus Al Qur’an dan lainnya. Agar optimal dan bisa diraih, maka target tersebut tidak dibagi dalam 30 hari, tapi 20 hari. Sekaligus sebagai bentuk antisipasi jika pada hari – hari tertentu diberi banyak kesibukan yang membuatnya sulit untuk tadarus Al Qur’an. Nah, berhubung target sudah terpenuhi, maka intensitas tadarusnya jadi berkurang dan menurun drastis.
Dalam situasi ramadhan, target yang kita tetapkan seharusnya adalah target minimal, bukan target maksimal. Sehingga jika sudah tercapai, akan dimaknai sebagai batas capaian minimal, selamat dari nilai “merah” dan grafisnya stagnan seperti tahun lalu. Masa yang tersisa harus dipahami sebagai sarana untuk meraih target maksimal, mencari tambahan nilai sekaligus berfastabiqul khairat satu sama lain dalam hal ibadah. Jadi, persepsi tentang target amaliah ini perlu kita perbaiki.
Ketiga, Teror Penagih Hutang
Hal yang sangat lumrah tapi jarang diungkap adalah, membanjirnya tukang tagih ke rumah kita. Tagihan bank, tagihan motor, tagihan arisan, tagihan toko hingga tagihan teman. Mereka tengah berkejaran dengan waktu agar bisa menagih kita sebelum kantornya tutup. Mereka berupaya menagih kita karena dananya mau dibagi atau mau digunakan untuk berlebaran. Inilah salah satu situasi paling rumit yang membuat semangat beribadah kita jadi turun drastis.
Jika kita bisa menemukan sosok – sosok seperti Abdurrahman bin ‘Auf di masa sekarang ini, itu sungguh sebuah keajaiban dan karunia dari Allah. Tapi di luar kita, kita mungkin perlu mengubah kebiasaan konsumsi, gaya hidup maupun manajemen bisnis. Di masa depan, mungkin kita perlu banyak menabung agar bisa melalui ramadhan dengan tenang. Kita perlu menjadwalkan pelunasan hutang di bulan rajab atau sya’ban, agar bisa memasuki ramadhan tanpa beban hutang. Itu diantara solusinya.
Keempat, Persiapan Lebaran
Hal lain yang menurunkan semangat ibadah adalah persiapan lebaran. Jika poin ketiga terjadi pada orang yang kesusahan, maka poin keempat justru terjadi pada orang yang berkelebihan. Mungkin baru dapat THR, bonus, tunjangan dan lainnya. Bayangkan, ditangan pegang uang banyak, diluar ada tawaran diskon besar – besaran. Ibaratnya, mata ngantuk malah diberi bantal atau kucing lapar malah diberi ikan. Mungkin kita bisa meredam nafsu konsumerisme pribadi, tapi kadang kita merasa iba jika yang meminta adalah anak dan keluarga. Apalagi jika ada kabar, keluarga besar dari jauh mau berlebaran di rumah kita.
Kita perlu meredam nafsu belanja kita, setidaknya karena beberapa hal, di antaranya ; kondisi ekonomi sedang sulit, harga – harga sedang naik dan juga fakta banyaknya makanan dan hidangan serupa di rumah – rumah saudara dan tetangga. Lihatlah berbagai macam sajian lebaran yang ada di dalam toples meja. Kadang awet hingga tiga bulan belum habis, karena di setiap rumah biasanya juga ada barang serupa. Jikapun kita benar – benar ingin berbagi parsel, angpau, baju dan lainnya, utamakan pada mereka yang benar – benar membutuhkan dan sebatas kemampuan kita saja.
Baju baru untuk dipakai di hari raya? Alhamdulillah kalau memang ada. Tapi tak adapun tak apa – apa. Masih ada baju yang lama. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.