Hanya sedikit yang memulai pernikahan dengan kemapanan, lalu dapat menyuasanakan rumahtangganya dengan semangat perjuangan.
Tidak. Kita tak sedang membahas pertanyaan yang sering muncul di seputar Lebaran. Tulisan ini hanya saran kepada para bujang, semoga mereka berkenan menjadikannya pertimbangan.
Banyak pria yang menunggu mapan untuk mulai berrumahtangga. Tapi saya amati, mereka yang menikah di waktu mapan akan dipertemukan Allah dengan pasangan yang memang siapnya untuk mapan. Dari mereka juga akan hadir anak-anak dalam suasana mapan, dibesarkan dalam kemapanan, dan hanya siap tumbuh menjadi generasi mapan.
Hanya sedikit yang memulai pernikahan dengan kemapanan, lalu dapat menyuasanakan rumahtangganya dengan semangat perjuangan.
Pentingkah rumahtangga yang disesaki ruh perjuangan itu? Barangkali saya terlalu melankolis, tapi rumahtangga para Nabi dan Rasul ‘Alaihimus Shalatu was Salaam yang kita baca dalam Al Quran lebih sering mencerminkan itu. Ibrahim yang hidup berpindah-pindah dan sering berpisah. Yusuf yang direnggut dari kasih oleh dengki dan mengalami lika-liku ngeri. Musa yang dibuang agar selamat tanpa kisah tentang Ayah. Muhammad yang yatim lagi piatu, diasuh paman yang hidupnya miskin dan tertungkus lumus di antara debu.
Rumah yang dinyalai ruh perjuangan adalah kebun subur bagi tumbuhnya manusia agung.
Jadi mengapa kita tak mencoba menikah di kala semua tampak jelas bagi iman meski masih remang bagi mata, hidup dalam yakin pada Allah meski diragukan manusia, serta dalam keadaan tetap bekerja meski pekerjaan tak tetap? Bersama itu ada wajah culun, penampilan bosah-baseh, kesibukan yang tak memberi waktu bersantai, dan hidup pas-pasan.
Calon pasangan yang berani mengiyakan lamaran kita di saat seperti itu, pastilah seorang pejuang.
Memang tiap kita diberi ujian. Yang tampan, terkenal, kaya; pasti jauh lebih rumit baginya mendapat pasangan yang mau mendampinginya karena Allah. Bukan karena ketampanannya. Bukan karena kemasyhurannya. Bukan karena kekayaannya.
Tiap hal yang menonjol, selalu lebih kuat potensinya untuk membiaskan niat.
Maka bersegeralah wahai bujang-bujang miskin, sebab Allah menjanjikan kecukupan dalam pernikahan. Maka bergegaslah wahai bujang-bujang tak mapan, sebab Allah kan menyediakan pasangan pejuang bagi para pejuang.
Suatu hari ketika pasangan pejuang itu menikah, berkatalah sang suami pada istrinya, “Maaf ya, belum bisa membelikan rumah. Ini kontrakannya juga kecil dan mesti lewat gang sempit.”
“Tidak apa Sayang. Punya rumah itu tidak wajib kok.”
“Oh iya ya? He he..”
“Iya, yang wajib itu shalat, hi hi..”
“Iya ya, yang wajib itu shalat. Terus memangnya kamu nggak ingin punya rumah, Sayang?”
“Mau banget banget banget, Sayang. Tapi yang penting rumah di surga. Kalau di dunia, meski pindah-pindah sewa, asal bersamamu aku rela.”
“Aduh Sayang, andai semua istri seperti kamu adanya, apalah gunanya ada KPK.”
Dan rumah mereka lalu tumbuh meluas atas karunia Allah, sebab puluhan anak-anak tetangga pun terundang untuk belajar, mengaji, menghafal Quran, membaca, dan berkarya di tiap sorenya. []
DICLAIMER: Tulisan Salim A Fillah di dan untuk Islampos berdasarkan lisensi atau izin dari beliau langsung. Bukan asal salin-tempel (copy-paste).