IBNU Umar Radhiyallahu anhu berkata, ”Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam selalu melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari Muslim).
Secara bahasa, menurut Imam Nawawi di dalam Riyadhus Sholihin, i’tikaf berarti menahan, sedangkan secara istilah syariat berarti tinggal di masjid untuk beribadah dalam jangka waktu tertentu.
Hadits di atas, menurut Imam Nawawi menjelaskan secara gamblang bahwa umat Muslim diperintahkan melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.
“Kegiatan ini baik untuk menjernihkan hati, menyibukkan diri secara utuh untuk ketaatan, meniru perilaku malaikat, dan sebagai upaya mendapatkan Lailatul Qadar,” urai Imam Nawawi lebih lanjut.
Kemudian, Aisyah Radhiyallahu anha juga menjelaskan apa yang dilakukan Nabi pada 10 hari terakhir Ramadhan.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر – أي العشر الأخير من رمضان – شد مئزره، وأحيا ليله، وأيقظ أهله . متفق عليه
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki 10 terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan tali sarungnya (yakni meningkat amaliah ibadah beliau), menghidupkan malam-malamnya, dan membangunkan istri-istrinya.” (HR. Bukhari Mulim).
Demikianlah Rasulullah meneladankan bagaimana mengisi 10 hari terakhir Ramadhan. Berusaha semaksimal mungkin fokus dalam ibadah dan memutus sementara waktu dengan segala urusan keduniawian. Terlebih dalam rentang 10 haari terakhir Ramadhan itu ada yang namanya Lailatul Qadar, satu malam yang nilainya setara dengan 1000 bulan alias 83 tahun, bahkan pada hakikatnya, jauh lebih baik dari angka tersebut.
Dalam kata yang lain, 10 hari terakhir mesti menjadi puncak usaha umat Islam dalam ibadah, yang awalnya sebatas hatam Al-Qur’an, sekarang bagaimana hatam dan paham maknanya. Pendek kata, meningkat ibadah, meningkat pencerahan di dalam diri. Itulah mengapa 10 hari terakhir Ramadhan disunnahkan i’tikaf, agar proses menuju tangga taqwa kian mudah untuk digapai.
Sebab, 10 hari terakhir Ramadhan adalah momentum perpisahan, dimana segala perilaku yang positif di dalam diri mesti tetap terjaga di luar Ramadhan, dan segala amal sholeh yang dilakukan di bulan Ramadhan, terus menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan diri dan keluarga sepanjang hayat.
Tantangan terberatnya adalah bagaimana menjadikan Ramadhan tetap hidup dalam rentang waktu 11 bulan ke depan, terutama setelah beberapa hari lepas dari Ramadhan, saat lebaran dan selanjutnya.
Oleh karena itu, 10 hari terakhir Ramadhan inilah penentu, karena momentum tersebut adalah puncak dari tarbiyah diri, puncak dari jihad, puncak dari mujahadah, yang tentu saja harus benar-benar dapat difokuskan dan dipertahankan. Inilah momentum pembebasan yang harus benar-benar diraih dalam bulan Ramadhan.[]
Sumber: Hidayatullah