APA sebenarnya yang selalu diucapkan Rasulullah semasa hidupnya ketika hari raya Idul Fitri? Nabi Muhammad SAW ternyata telah memberikan tuntunan agar ketika tiba di bulan Ramadhan kita mengucapkan “taqabbalallahu minna waminkum“, yang artinya “semoga Allah menerima amalan aku dan kamu“.
Kemudian menurut riwayat ucapan ini diberikan tambahkan oleh para sahabat dengan kata-kata “shiyamana wa shiyamakum“, yang artinya “puasaku dan puasamu”. Dengan demikian secara lengkap kalimat tersebut menjadi “taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum” yang artinya “semoga Allah menerima amalan saya dan kamu, amalan puasa saya dan kamu“.
Meski sudah ada tuntunan yang secara dari Nabi Muhammad SAW, belum serta merta tuntunan itu akan segera dipraktikkan oleh umat, karena kebiasaan lama masih demikian melekat. Sebagai bagian dari fase kebudayaan, maka adat kebiasaan yang telah melekat akan mengalami perubahan melalui proses internalisasi yang cukup lama, mulai dari pengenalan, pemahaman, pembiasaan, sampai dengan pengamalan.
Dengan demikian, jika kebiasaan itu memang dinilai tidak rasional lagi dan yang paling penting adalah karena kurang atau bahkan tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW, maka tidak akan serta merta kebiasaan itu akan berganti. To make one understand is the most difficult. Mengapa? Karena membuat orang lain mengerti adalah pekerjaan yang paling sulit.
Secara bertahap dewasa ini sudah mulai banyak orang yang telah menggunakan ungkapan yang diberikan tuntunan oleh Rasulullah. Atau setidaknya telah mulai digunakan kedua-duanya. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa yang justru masih banyak lagi adalah justru yang belum mengenal tuntunan Nabinya sendiri.
Umat lebih suka menggunakan kebiasaan umum, yang sudah biasa digunakan, meski kebiasaan itu sama sekali tidak mempunyai landasan yang kuat untuk digunakan. Itulah kenyataannya.
Itulah kondisi faktual pemahaman dan pengamalan agama Islam umat ini. Tetapi, karena pengalaman agamanya lebih karena kebiasaan belaka, tanpa pemahaman yang kuat, maka keimanan umat masih sangat jauh dari kuat.
Kalaupun kuat, maka kekuatan keyakinan tersebut sebenarnya merupakan kekuatan sementara yang sifatnya emosional belaka, bukan keyakinan yang dilandasi oleh pemahaman yang mendalam, termasuk pemahaman kita tentang Bahasa Arab, yang memang belum menjadi bahasa kedua kita. []
Sumber: suparlan