AKU mengenakan jilbab terbaikku malam ini. Sebuah jilbab cantik, mengkilat dengan hiasan bordir yang cerah menawan.
Aku tak pernah memakai jilbab yang mencolok jika pergi ke luar. Biasanya aku mengenakan yang berwarna gelap, polos – biasanya hitam, sejujurnya – agar padu padan dengan gamis hitamku. Aku tak mau terlihat ‘buruk’ saat tampil ke luar, tetapi aku juga tak ingin terlalu mencolok, atraktif, atau berwarna-warni saat di luar rumah. Aku selalu teringat ayat ini:
“Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan mukmin, supaya mereka menundukkan pandangan mereka, dan menjaga kemaluan mereka, dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang nampak daripadanya…” [An Nuur (24): 31]
Aku merasa cukup dan nyaman dengan caraku berbusana selama ini. Bahkan senang. Namun mengenakan gamis polos hitam terkadang berat rasanya. Hanya satu alasannya, banyak sekali jilbab yang indah di luar sana.
Aku melihat jilbab-jilbab indah itu, aku menginginkan mereka dan kadang aku pun membeli mereka. Aku tahu, aku tak akan mengenakan jilbab semacam itu di luar. Tetapi mereka sungguh sangat cantik. Dan tak jarang aku berbisik di dalam hati, “Mungkin untuk Idul Fitri aku akan membuat pengecualian…” atau aku akan mengenakannya sebagai pemanis tampilan di rumah. Melihat jilbab-jilbab cantik itu tertumpuk di lemari, kadang aku memikirkan cara dan saat yang tepat untuk bisa mengenakannya. Kadang ada rasa bersalah telah membeli sesuatu yang tak aku butuhkan dan tak akan pernah kupakai. Dan selalu saja setiap kali tatapanku tertuju pada jilbab-jilbab itu, terbisik betapa cantiknya mereka.
Malam ini berbeda, malam ini aku tak bisa menahan diriku lagi untuk tidak mengenakannya. Hatiku sedang penuh dengan kegembiraan dan dipenuhi rasa ingin berhias. Aku mandi dan mengenakan jilbab tercantik yang kupunya: sebuah jilbab biru muda mengkilat dengan bordiran coklat keemasan dan rumbaian lembut berkilat-kilat. Aku ambil dan pakai gamis yang terbaik juga. Sebuah gaun panjang berkain jatuh yang sengaja kusimpan untuk acara teristimewa. Aku semprotkan parfum ke tubuh dan busanaku. Harumnya lembut, salah satu favoritku.
Biasanya, aku lebih baik mati daripada keluar rumah dengan berbusana seperti itu. Aku tak akan pernah keluar rumah penuh dengan keharuman parfum dan aku berdoa aku tak akan pernah melakukannya.
Namun malam ini berbeda. Malam ini, setelah membersihkan diri, berbusana, menghias diri dan berwangi-wangian aku siapkan diriku untuk menemui tamu istimewa. Aku tebarkan sajadah di sudut rumah dan bersiap untuk menemui Al Malik, Sang Raja Alam Semesta.
Aku belajar dari para teladan sebelum kita. Ketika sepuluh hari terakhir dari Ramadhan telah tiba, para salafush shalih akan bersiap-siap. Mereka berbenah untuk menyambut Lailatul Qadar seperti halnya berhari raya Idul Fitri. Mereka akan berusaha keras untuk mandi, membersihkan diri, baik luar maupun bathin.
Berdasarkan keterangan Ibnu Jarir, “Mereka biasa mandi di setiap malam dari 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Sebagian dari mereka akan mandi dan memakai wewangian pada malam yang diharapkan Lailatul Qadar akan datang.
Lailatul Qadar adalah sebuah malam yang agung, sebuah malam yang tak seharusnya kita lewatkan.
Bahkan Siti Aisyah pun mempersiapkan ucapan yang pantas untuk malam itu dengan bertanya: “Wahai Rasulullaah, jika aku mengetahui bahwa malam ini adalah Lailatul Qadar, apa yang harus aku ucapkan di dalamnya?” Atas pertanyaan itu Rasulullah saw. menjawab: “Katakanlah: Allaahummaa innaka ‘afwun tuhibbul ‘afwa, fa’fu’annii… (Wahai Allah, Engkau Maha Pemaaf, dan suka memberi maaf, karena itu maafkanlah aku.)” [HR Ahmad]
Sementara itu, Tamim ad Dari memiliki baju senilai 1000 dirham yang khusus ia simpan dan hanya dikenakan untuk menyambut malam istimewa itu. Dan Tsabit al Banani akan mengenakan pakaian terbaiknya, memakai parfum serta menebarkan wangi-wangian di masjid pada malam yang diharapkan datang Lailatul Qadar.
Semua ini adalah bagian dari persiapan.
Sepuluh malam terakhir telah datang dan ini adalah saat terbaik bagi para muslimah untuk mengeluarkan jilbab tercantiknya, gaun teranggunnya, parfum terwanginya dan doa-doa terbaiknya. Inilah saat bertemu dengan Allah dalam doa pada waktu terbaik sepanjang tahun. Selama kita berada di dalam rumah, ada banyak alasan untuk berpesta dengan busana kita. Dan jika kita pergi ke masjid, busana terbaik tetap bisa dikenakan dengan menjauhi hal-hal yang dilarang.
Inilah saat mempersembahkan yang terbersih, terbaik dan terindah dari tampilan luar kita dan tetap bekerja keras untuk membersihkan, memperbaiki, dan memperindah yang di dalam – hati, fikiran, serta akhlaq kita.
Allaahummaa innaka ‘afwun tuhibbul ‘afwa, fa’fu’annii… Allaahummaa innaka ‘afwun tuhibbul ‘afwa, fa’fu’annii… Allaahummaa innaka ‘afwun tuhibbul ‘afwa, fa’fu’annii… Aamiin. []
Binti Abdul Hamid, Muslimah tinggal di luar negeri