KITA tentu pasti sudah tak asing lagi dengan periwayat hadis yang satu ini. Ya, dialah Imam Bukhari. Beliau salah satu periwayat hadis yang cukup dipercaya keshahihan hadisnya. Beliau juga terkenal sebaga orang yang cukup pandai. Agar kita lebih mengetahui salah satu tokoh Islam ini, marilah kita kenali lagi. Dari kisah beliaulah semoga kita dapat meniru keteladanannya.
Imam Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M).
Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut).
Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari (196-256 H / 810-870 M), adalah seorang sarjana Islam dari Persia. Dia menulis koleksi hadis bernama Sahih Bukhari, koleksi yang diakui oleh orang muslim sebagai yang paling otentik dari semua kompilasi hadits.
Imam Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Daya ingat Imam Bukhari dianggap mempunyai kelebihan di banding lainnya, karena setelah menyelesaikan membaca sebuah hadits, Imam Bukhari dapat segera mengulanginya secara lisan. Diketahui bahwa di masa kecilnya ia telah hafal 2000 hadits.
Pada usia enam belas tahun, ia, bersama dengan saudara dan ibunya melakukan ziarah ke Mekah. Dari sana ia melakukan serangkaian perjalanan untuk meningkatkan pengetahuannya tentang hadits. Dia berkeliling ke semua pusat-pusat penting pembelajaran Islam pada masa itu, berbicara dengan ulama dan bertukar informasi tentang hadis. Dikatakan bahwa ia mendengar lebih dari 1.000 orang, dan belajar lebih dari 700.000 tradisi.
Imam Bukhari menulis hadits dari 1080 orang yang berbeda yang semuanya sarjana. Namun, dia mendapat keuntungan paling banyak dari Ibnu Ishaq Rahway dan Ali Ibnu Madeeni (RA).
Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari para ulama dengan lima kategori yang berbeda. Dia juga meriwayatkan hadits dari pemikiran murid-muridnya yang percaya kepada kenyataan bahwa tidak ada orang yang dipanggil sebagai seorang sarjana hadis jika belum diriwayatkan oleh tetuanya, para pemudanya dan orang yang seumurnya.
Setelah enam belas tahun pergi, ia kembali ke Bukhara, dan ada menyusun al-Jami ‘as-Sahih, koleksi 7.275 tradisi teruji, diatur dalam bab sehingga mampu memenuhi sistem dasar yang lengkap dari ilmu hukum/ fiqih tanpa menggunakan hukum spekulatif.
Bukunya sangat diakui di kalangan umat muslim, dan dianggap koleksi hadis paling otentik (sebagian kecil ulama menganggap Sahih Muslim, yang disusun oleh murid Imam Bukhari, lebih otentik). Kebanyakan ulama menganggap tingkat keasliannya kedua setelah Al-Qur’an. Dia juga menulis buku-buku lain, termasuk al-Adab al-Mufrad, yang merupakan kumpulan hadits tentang etika dan tata krama, serta dua buku yang berisi biografi perawi hadits (isnad).
Pada tahun 864 M/250 H, ia menetap di Nishapur. Saat itu di Neyshābūr ia bertemu Muslim bin al-Hajjaj. Dan mengangkatnya sebagai murid, dan akhirnya dianggap sebagai kolektor dan penyusun hadits Sahih Muslim, kedua setelah yang al-Bukhari. Masalah politik menyebabkan dia pindah ke Khartank, sebuah desa dekat Samarkand, Di sinilah ia menghabiskan bulan Ramadhan dan di bulan Syawal ketika berada di perjalanan menuju Samarkand, di mana kematian menjemputnya Imam Bukhari meninggal di bulan Syawal 256 H / 870 M, pada usia 62. []