“SEBENTAR lagi memasuki bulan Ramadhan, saya dan keluarga memohon maaf lahir dan batin dari segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja, semoga kita mendapatkan berkah bulan Ramadhan,” begitu kira-kira kata-kata yang saya terima lewat broadcast BBM.
Dia adalah seorang teman yang saya kenal setahun terakhir. Perkenalan setahun telah sedikit demi sedikit memperlihatkan karakter aslinya. Seorang yang emosional dan mudah mengeluarkan kata-kata buruk jika tengah berdebat. Akhir-akhir ini ia baru saja berdebat hebat, dengan seorang teman lainnya. Nyatanya ia memang sadar akan kesalahannya itu.
“Haduh, sebentar lagi masuk bulan Ramdhan, saya kemarin berantem sama si Fulan….” ujaranya, “gimana ya puasa saya, kalau dia masih marah sama saya? Saya tidak biasa minta maaf langsung.”
“Minta maaf aja langsung, biar lebih jadi seorang kesatria,” jawab saya dengan nada bercanda.
“Hem, minta maafnya di broadcast aja deh!”
“Jangan, kalau di broadcast nanti dianggap hanya basa-basi…”
Beberapa detik kemudian broadcast itu mendarat di ponsel saya. Saya hanya menghela napas.
Beberapa pekan ini, saya mungkin juga Anda, kebanjiran broadcast permohonan maaf lahir dan batin. Mulai dari pertengahan bulan Sya’ban, beberapa hari masuk bulan Ramadhan, dan bisa dipastikan Idul Fitri pasti broadcast permohonan maaf akan diterima lagi.
Tak bisa dipungkiri, semakin banyaknya pengguna teknologi smartphone semakin terasa mudah menyampaikan permintaan maaf pada semua orang. Jika kita memperhatikan, pada era sebelumnya kita sering mendapatkan ucapan permintaan maaf pada hari raya Idul Fitri, dari zaman kartu ucapan lebaran, sms, telfon, Facebook, hingga musim broadcast BBM seperti sekarang ini. Hadirnya teknologi membuat untaian permohonan maaf bisa dilakukan kapan saja. Sekali copy lalu paste, klik broadcast. Sudah.
Akan tetapi, sistem copas ini lebih terkesan musiman daripada tulus berkata. Ketika ada pesan broadcast menuju pertengahan Sya’ban, ramai-ramai orang di BBM meng-copas meminta maaf dengan dalih tutup buku amalan. Ketika beberapa hari memasuki Ramadhan, ramai-ramai orang mem-broadcast permohonan maaf agar dilancarkan ibadah Ramdhan. Saya pernah membaca suatu ketika, ada orang yang menulis status di Facebooknya, “Hari gini baru broadcast, broadcast itu kemarin pas nisfu sya’ban pasa amalan mau ditutup. Sekarang mah telat kaliii.” Aku hanya mengelus dada membacanya.
Padahal meminta maaf pada dua saat tersebut tidaklah ada tuntunannya secara khusus dari Rasulullah SAW. Lebih parah kalau dilakukan dengan asal copas dengan menyantumkan hadits yang belum di cek kembali kebenarannya.
Pada hakikatnya meminta maaf adalah sesuatu yang boleh dilakukan kapan saja. Menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan secepatnya ketika kita mempunyai kesalahan terhadap orang lain. Bukanlah sebuah musiman menuju Ramadhan atau Nisfu Sya’ban. Seperti paparan hadits di bawah ini:
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang pernah mempunya kedzaliman kepada seseorang baik terhadap kehormatannya atau apapun, maka minta halallah darinya hari ini! Sebelum tidak ada emas dan perak (yang ada adalah) jika dia mempunyai amal sholeh, maka akan diambil darinya sesuai kedzalimannya, jika tidak mempunyai kebaikan, maka akan diambil dosa lawannya dan ditanggungkan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Jika pun meminta maaf terhadap teman-teman di media sosial, haruslah dibarengi niat berminta maaf yang tulus. Sadar bahwa tidak saling mengenal, bukan berarti kita tak punya salah. Jangan-jangan status yang kita buat bisa saja menyakiti mereka. Itulah mengapa dalam meminta maaf selalu terucap “dosa yang disengaja maupun tidak disengaja, yang diketahui maupun tidak diketahui.”
Begitupun dengan broadcast BBM, gunakanlah dengan bijak. Meminta maaf yang tulus dengan tidak berlebihan. Mengaku kesalah diri dengan berani, mudahnya teknologi jangan sampai membuat kita memudahkan segala hal. Termasuk meminta maaf. Wallahu A’lam. []