SUATU kali, seorang raja di sebuah negeri menyuruh rakyatnya untuk mengumpulkan susu. Tidak banyak. Setiap rakyat hanya diminta dua gelas susu saja. Dua gelas, jika dikumpulkan dari semua rakyat yang ada di seluruh negeri, mungkin akan jadi sebanyak danau.
Tapi celakanya, ternyata, ada seorang di antara rakyat—hanya satu orang—yang berpikiran seandainya saja dia menyerahkan dua gelas air bekas bersihan beras, atau kita menyebutnya air tajin, tentunya tidak akan ketahuan. Dalam pikirannya, dua gelas air tajin itu akan tercampur dengan jutaan gelas susu yang lain.
Keesokan harinya, alangkah terkejut dan murkanya sang raja ketika mendapati limpahan susu yang ia minta semuanya berupa air tajin bekas bersihan beras! Ternyata, semua rakyat, tanpa ada diskusi dan persetujuan secara kolektif, berpikiran yang sama; mengumpulkan dua gelas air tajin!
Cerita di atas, mungkin cocok dengan sikap dan prilaku kita terhadap waktu. Jujur saja, kita sering kali meneledorkan waktu yang kita punya. Bukti paling jelas, adalah janji waktu kita untuk rapat atau pertemuan lainnya. Di negeri ini, kita sudah teramat biasa untuk telat dalam acara apapun. Janji jam 8, baru berangkat jam 9. Janji jam 12, baru mulai jam 2. Begitu seterusnya.
Padahal coba kalau kita ini ternyata berpikiran sama seperti rakyat negeri susu, akan ada segunung waktu yang terbuang. Coba hitung, jika ada 20 orang di antara kita berpikiran seperti itu, maka akan ada 20 orang yang telat. Ada sekian waktu yang kita cederai. Jika ada 100 orang, maka 100 keterlambatan pula. Itu dalam acara rapat.
Perilaku dan nilai suatu bangsa sering kali bisa dinilai dari hal-hal kecil yang dilakukan oleh banyak orang dan sehari-hari. Mungkin sudah saatnya, sekarang kita menjadikan diri sendiri orang yang bisa menghargai waktu dan kepentingan orang banyak. Jangan sampai perilaku telat hanya membikin kita tidak jauh beda dengan rakyat negeri susu! []