AS—Sebuah penelitian dilaporkan telah menunjukkan bahwa para pelaku tindak terorisme mayoritas bukan Muslim. Penelitian ini berdasarkan proyek gabungan Investigative Fund Nation Institute dan Reveal from the Center for Investigative Reporting. Laporan mengambil sampel insiden aksi terorisme dalam jangka waktu 2008 hingga 2016.
“Hasilnya, kelompok ekstremis kanan menjadi pelaku insiden teror paling banyak dengan jumlah hampir dua kali lipat daripada aksi yang dihubungkan terhadap kelompok Islam,” tulis laporannya.
Mengutip Shabestan pada Senin (26/6/2017), laporan itu mengidentifikasi 63 insiden yang bermotifkan ideologi politik teokratik sebagaimana dilakukan gerakan ISIS. Dalam jangka waktu tersebut, di dalamnya ada kasus penembakan San Bernardino dan ledakan bom Maraton Boston.
Adapun kelompok garis keras kanan, termasuk gerakan Supremasi Kulit Putih, bertanggung jawab atas 115 serangan pada periode yang sama. Salah satu di antaranya yakni serangan di klinik kesehatan Colorado Planned Parenthood.
Studi juga menemukan tindakan polisi terkait insiden yang melibatkan kelompok ekstremis Islam mencapai 76 persen. Sementara kelompok garis keras kanan hanya 35 persen.
Namun dari tingkat persentase aksi yang menyebabkan kematian, kelompok aksi ekstremis kanan lebih banyak menyumbang korban jiwa dibandingkan pada aksi yang dihubungkan kepada kelompok radikal Islam. Laporan ini sekaligus menampik kebijakan Presiden AS Trump yang cenderung fobia dengan kelompok Islam.
Shirin Sinnar, profesor dari Universitas Standford mengatakan, efek dari kebijakan anti-Muslim dan retorika antiimigran pemerintahan Trump telah menyebabkan kekerasan oleh kelompok Supremasi Kulit Putih terhadap, Muslim, imigran, atau warga lain yang berbeda warna kulitnya. []