DADU dalam bahasa Arab disebut An Nard (النَّرْدِ) atau Nardasyir (النَّرْدَشِيْر). Disebut demikian karena orang yang pertama kali mempelopori permainan ini adalah Ardasyir bin Baabak, sebagaimana disebutkan oleh Al Fairuz Abadi dalam Al Qomus [1]. Sedangkan dalam bahasa Arab, permainan catur disebut dengan Asy Syithronji (الشِّطْرَنْجِ).
Mungkin sebagian orang belum mengetahui bagaimana pandangan Islam mengenai dua permainan ini. Kami akan mencuplik perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, -ulama yang sudah dikenal kemampuannya dalam meneliti pendapat berbagai madzab- dalam masalah ini. Berikut perkataan beliau.
Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu),” (QS. Al Ma-idah: 90-91)
Yang termasuk dalam berjudi adalah an nardasyir (permainan dadu) dan semacamnya. Telah terdapat dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bermain dadu, maka seakan-akan ia telah mencelupkan tangannya ke dalam daging babi dan darahnya.”[2] Empat imam madzhab berpendapat bahwa bermain dadu walaupun tanpa taruhan tetap diharamkan.
Ibnu ‘Umar, Imam Malik bin Anas dan selainnya mengatakan, “Permainan catur lebih jelek lagi dari permainan dadu.” Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Imam Asy Syafi’I mengatakan, “Permainan dadu termasuk dalam permainan catur.”
Jika ditinjau dari beberapa sisi, dua pendapat di atas sama-sama benarnya.
Apabila kita bandingkan permainan dadu yang memakai taruhan dengan permainan catur yang tanpa taruhan, maka permainan dadu dinilai lebih jelek. Dadu dinilai haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Namun apabila kedua permainan tersebut sama-sama menggunakan taruhan, maka permainan catur dinilai lebih jelek. Alasannya, catur lebih membuat hati seseorang lalai dari mengingat Allah dan mengerjakan kewajiban shalat dibanding dengan permainan dadu.
Ada yang mengatakan bahwa sebab dinyatakan demikian karena permainan catur berasal dari orang-orang Qodariyah (para penentang takdir), sedangkan permainan dadu beradal dari orang-orang Jabariyah (yang berlebihan dalam menetapkan takdir). Orang yang bermain dadu akan melemparkan dadunya baru setelah itu dia akan berpikir (melakukan hitungan). Adapun orang yang bermain catur, maka dia akan berpikir matang-matang dulu sebelum melangkah. Dari sini, kerusakan permainan catur terhadap hati lebih parah dibanding dengan permainan dadu.
Akan tetapi, di kalangan orang Arab dahulu, dadu lebih ma’ruf daripada catur. Catur baru dikenal di kalangan orang Arab setelah Islam menaklukkan berbagai negeri. Catur berasal dari India, lalu berpindah ke Persia. Oleh karena itu, yang disebutkan dalam hadits adalah dadu. Namun sebenarnya permainan catur lebih jelek daripada permainan dadu ditinjau dari sama-sama menggunakan taruhan atau tidak ada taruhan.[3]
–Demikian nukilan fatwa Syaikhul Islam yang pertama-
Dalam fatwa lainnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya mengenai seseorang yang gemar bermain catur. Orang tersebut mengatakan bahwa permainan catur lebih menarik daripada dadu. Pertanyaan: Apakah pernyataan orang itu dibenarkan? Apakah bermain catur dengan taruhan ataupun tanpa taruhan dihukumi haram? Bagaimana pendapat para ulama mengenai hal ini?
Jawaban:
Alhamdulillah. Perlu diketahui bahwa permainan catur diharamkan oleh mayoritas ulama sebagaimana dadu. Dalilnya adalah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang bermain dadu, maka seakan-akan ia telah mencelupkan tangannya ke dalam daging babi dan darahnya.”[4]
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa bermain dadu, maka dia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.”[5]
Terdapat pula riwayat dari ‘Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu-. Beliau pernah melewati orang-orang yang bermain catur, lalu beliau mengatakan, “Ada apa dengan berhala-berhala yang kalian beri’tikaf di hadapannya[6]?” Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ‘Ali membalik papan catur orang-orang tadi.
Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa catur merupakan bagian dari judi. Telah kita ketahui bahwa Allah mengharamkan perjudian. Para ulama menyatakan bahwa permainan dadu dan catur itu haram jika dengan menggunakan taruhan. Dadu dan catur temasuk perjudian yang Allah larang. Permainan dadu dinilai haram oleh empat ulama madzhab baik dengan taruhan ataupun tidak. Akan tetapi, sebagian kecil dari ulama Syafi’iyah membolehkan memainkan dadu jika tanpa taruhan karena mereka menganggap bahwa dadu tidak digunakan untuk perjudian. Sedangkan Imam Asy Syafi’i dan mayoritas ulama Syafi’iyah, juga Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan ulama lainnya mengharamkan dadu baik dengan taruhan ataupun tidak. Begitu pula dengan permainan catur, para ulama madzhab –Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan selainnya- mengharamkannya dengan tegas.
Para ulama tersebut selanjutnya berselisih pendapat, manakah yang lebih jelek (dadu ataukah catur)? Imam Malik dan selainnya mengatakan bahwa catur lebih jelek daripada dadu. Imam Ahmad dan selainnya mengatakan bahwa catur lebih mending dari dadu. Sedang Imam Asy Syafi’i abstain dalam masalah dadu jika dia terbebas dari hal haram (yaitu adanya taruhan). Adanya kesamaran mengenai manakah yang lebih jelek antara keduanya karena kebanyakan orang yang bermain dadu menggunakan taruhan, sedangkan permainan catur umumnya tanpa taruhan. Juga sebagian mereka menyangka bahwa bermain catur dapat melatih berperang karena di dalam permainan itu diajarkan strategi bagaimana mengatur pasukan.
Namun berdasarkan penelitian mendalam –pendapat yang tepat-, apabila dadu dan catur dimainkan dengan taruhan, maka catur dinilai lebih jelek. Alasannya, karena catur pada saat ini diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama kaum muslimin. Begitu pula permainan tersebut diharamkan berdasarkan ijma’ jika ada hal-hal haram di dalamnya seperti dusta, sumpah yang dusta, kezholiman, tindak pidana, atau ada pembicaraan yang bukan wajib dan semacamnya. Dan permainan catur tetap dinilai haram oleh mayoritas ulama meskipun tidak terdapat hal-hal yang terlarang tadi. Dilarang demikian karena catur sering melalaikan dari berdzikir pada Allah, melalaikan dari shalat, menimbulkan permusuhan dan kebencian dan hal ini berbeda dengan permainan dadu apabila dadu tersebut disertai adanya taruhan. Namun jika kedua permainan tadi sama-sama memakai taruhan, catur dinilai lebih jelek.
Adapun jika permainan dadu atau catur memakai taruhan, maka ini berarti memakan harta seseorang yang bukan haknya dengan cara yang batil. Allah telah menggandengkan perjudian dengan khomr, penyembahan pada berhala dan mengundi nasib karena semuanya dapat memalingkan dari berdzikir pada Allah dan dari shalat. Dalam berbagai kegiatan tadi akan timbul permusuhan dan kebencian. Namun, keseringan bermain catur ternyata lebih melalaikan hati dari mengingat Allah dibanding dengan minuman keras. Oleh karena itu, ‘Ali bin Abi Tholib –selaku Amirul Mukminin- menasehati orang yang gemar bermain catur, beliau menyamakannya dengan para penyembah berhala, sebagaimana beliau katakan, “Ada apa dengan berhala-berhala yang kalian beri’tikaf di hadapannya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyamakan peminum minuman keras dengan para penyembah berhala dalam hadits yang terdapat dalam musnad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Peminum khomr layaknya seperti penyembah berhala.”[7] ….
Penjelasan ini memberikan pencerahan pada kita bahwa permainan catur termasuk kemungkaran sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ali, Ibnu ‘Umar dan sahabat lainnya. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan selainnya bersikap keras dalam hal ini, sampai-sampai mereka mengatakan, “Tidak boleh menyalami para pemain catur karena mereka nyata-nyata menampakkan maksiat.” Sedangkan murid-murid Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak mengapa jika menyalami mereka.
-Demikian beberapa penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-
Kesimpulan:
- Permainan dadu adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Permainan dadu tetap terlarang baik dengan menggunakan taruhan ataupun tidak.
- Permainan catur disamakan dengan permainan dadu atau merupakan bagian dari permainan dadu dan perjudian, sehingga dihukumi haram.
- Permainan catur dinilai lebih jelek dari dadu jika sama-sama menggunakan taruhan.
- Kedua permainan ini terlarang dikarenakan membuat orang lalai dari mengingat Allah dan menunaikan yang wajib.
Terakhir kami katakan, jangan sampai kita menentang perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam danperkataan para ulama yang lebih memahami maksud hadits Nabi daripada kita. Kalau memang kita belum mampu meninggalkannya, maka janganlah berkomentar macam-macam sebagai tanda tidak suka.
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, ”Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa menolak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah berada dalam jurang kebinasaan.”[8]
Setelah kita mengetahui penjelasan ini, mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allah untuk meninggalkannya dan berusaha pula mengajarkan keluarga tentang hal ini serta melarang mereka untuk memainkannya walaupun itu cuma sekedar mainan atau hiburan.
Hanya Allah yang senantiasa memberi taufik.
Faedah Ilmu dari Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Catatan Tambahan : Kemudian untuk pelajaran matematika, itu tidak termasuk permainan. Namun hanya untuk mempelajari probabilitas (peluang) dan ini hanya sarana belajar bukan maksud bermain maka boleh. []
Sumber: Muhammad Abduh Tuasikal/khusus muslimah